Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ACFTA DAN "MAINSTREAMING" BATIK MADURA

Kompas.com - 18/06/2010, 17:56 WIB

Oleh Fathor Rahman Jm

 

Tidak banyak masyarakat Indonesia yang kenal batik madura. Demikian pula masyarakat Jawa Timur. Pembicaraan mengenai batik selama ini didominasi daerah-daerah Jawa Tengah, misalnya Solo, Klaten, Pekalongan, dan lain-lain. Selama ini, Madura hanya terkenal dengan garam dan karapan sapi. Padahal, Pulau Madura merupakan salah satu sentra batik di Indonesia yang tidak kalah bergairahnya dengan daerah-daerah lain.

Di Madura, membatik merupakan budaya yang diwariskan secara turun- temurun, dengan hasil karya yang memiliki nilai seni bercita rasa tinggi. Menurut Ketua Komunitas Batik Surabaya Lintu Tulistyantoro, batik madura sangat ekspresif dibanding batik jawa pada umumnya (Kompas, 3/06/2010). Karakter ekspresif tersebut merupakan cermin dari watak masyarakat Madura yang bebas berekspresi, tegas, pekerja keras, ulet, dan berterus terang.

Oleh sebab itu, meski tampak kasar, bukan berarti batik madura murahan. Batik gentongan yang bisa ditemukan di Tanjung Bumi, Bangkalan, misalnya, di tingkat perajin saja harganya bisa mencapai jutaan rupiah per lembar. Keistimewaan batik ini, semakin lama warnanya semakin cerah.

Hal itu menunjukkan bahwa industri batik di Madura sangat potensial secara ekonomi. Setiap hari terdapat ribuan lembar kain batik yang dihasilkan dari daerah-daerah mulai paling barat hingga paling timur Madura. Beroperasinya Suramadu sejak 9 Juni 2009 dan dikukuhkannya batik sebagai warisan budaya dunia asal Indonesia oleh UNESCO merupakan peluang yang cukup baik bagi pelaku industri rumahan tersebut.

Namun, tantangan yang perlu diperhatikan oleh pelaku industri batik dan pemerintah daerah setempat adalah diberlakukannya Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) sejak 1 Januari 2010. Dalam menghadapi ACFTA, banyak pihak, khususnya dari Indonesia, yang harap-harap cemas. Sebelum kesepakatan ini diimplementasikan, sebenarnya sudah banyak pelaku ekonomi dalam negeri yang paranoid terhadap serbuan komoditas asal China.

Selain memiliki banyak variasi produk, China juga mampu menekan biaya produksi dan distribusi seefisien mungkin sehingga bisa menekan harga produk serendah-rendahnya. Implementasi ACFTA dapat mengurangi hambatan arus perdagangan dan investasi antarnegara anggota. Sebab, dalam ACFTA juga terdapat kesepakatan Common Effective Preferential Tariff (CEPT). Inti dari CEPT dalam persetujuan ACFTA adalah pengurangan berbagai tarif impor dan penghapusan hambatan non- tarif atas perdagangan dalam lingkup ASEAN dan China. Hal ini memungkinkan negara anggota bisa lebih mengefisienkan biaya distribusi.

Akibatnya, harga produk impor, khususnya dari China, bisa jadi akan jauh lebih murah dari produk lokal dalam negeri. Hal ini akan menyebabkan persaingan yang timpang, dan kemudian akan disusul frustasi kelesuan dunia usaha dalam negeri. Kelesuan dunia usaha akan menyebabkan tidak betahnya investor asing.

Bahkan, bukan tidak mungkin para pelaku industri lokal dalam negeri akan beralih profesi menjadi penyedia jasa impor. Logikanya, buat apa memproduksi barang kalau menjadi importir lebih menguntungkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com