Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bangkitnya Kesenian Rakyat...

Kompas.com - 24/07/2010, 15:55 WIB

Meninggalkan ladang dan kebun di lereng Gunung Merbabu, 30 petani Dusun Ketundan, Sekayu, Kecamatan Pakis, Magelang, Jawa Tengah, berangkat ke Yogyakarta. Mereka diundang tampil pada puncak gelaran seni Dies Natalis Ke-26 Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Mereka tergabung dalam kelompok kesenian joget soreng "Warga Budhaya". Pada acara bertajuk "Senang-senang Seni" gelaran Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Jumat (23/7), itu, mereka pentas joget (tari) soreng dengan lakon Gladhen Perang Prajurit Jipang. Lakon berkisah persiapan perang prajurit Jipang di bawah pimpinan Arya Penangsang melawan prajurit Pajang.

Hampir dua jam warga yang akrab hawa dingin itu tampil di udara Yogyakarta yang panas. Peluh bercucuran di balik kostum beskap bermotif bunga-bunga. Kulit wajah memerah di bawah riasan dan kumis tebal tempelan. Namun, semangat tak pupus. Diiringi musik truntung (seni perkusi terbang), mereka terus menari dengan gerakan-gerakan sederhana, mirip gerakan jatilan.

Di balik para pemain truntung, belasan remaja menonton pementasan dalam diam. Mereka anak-anak para pemain yang diajak sebagai cara regenerasi. "Anak saya memang saya ajak, biar dia bisa lihat bapaknya main. Jadi ikut belajar," kata salah seorang pemain, Bakir Priyanto (50).

Koreografer dan pemilik Sanggar Soreng di Desa Sekayu, Eko Sunyoto, mengatakan, joget soreng adalah kesenian rakyat yang tumbuh di kalangan petani lereng Gunung Merbabu, tepatnya di Kecamatan Pakis. Konon, Soreng berasal dari kata Sura (berani) dan Ing (pada) yang artinya keberanian.

Kesenian ini bentuk kreativitas warga setempat terhadap tarian keprajuritan dari seni ketoprak dan wayang orang yang lama diakrabi penduduk.

Menurut Eko, kesenian berkembang selepas tahun 1965 hingga saat ini. Seiring pamor ketoprak yang redup akibat ongkos mahal, banyak pemain ketoprak dan wayang orang beralih menjadi pemain soreng.

Hal ini menular pada penduduk setempat. Puncaknya, jumlah kelompok soreng di 21 desa di Kecamatan Pakis mencapai 35 kelompok. "Saat ini, jumlah kelompok berkurang menjadi 20-an. Sisanya menjadi kelompok kesenian topeng hitam yang dikembangkan dari soreng," katanya.

Para pemain soreng umumnya petani tembakau atau sayuran tanpa latar belakang pendidikan kesenian. Mereka belajar soreng turun- temurun lalu mengembangkannya. Bahkan, mereka rela menyisihkan pendapatan bertani untuk menghidupi kelompok.

Di tengah kehidupan petani yang serbasulit, soreng bermetamorfosis sebagai daya hidup penyeimbang kehidupan. "Bagi kami ini, hiburan juga wadah keguyuban. Dengan satu kelompok soreng saja, satu rumah sudah bisa berdiri," tuturnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com