Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memerdekakan Perempuan, Memerdekakan Indonesia

Kompas.com - 29/08/2010, 10:35 WIB

KOMPAS.com - Angka tujuh belas adalah angka "keramat", tanggal Kemerdekaan Republik Indonesia. Angka yang sama juga menjadi pertanda seseorang menuju masa dewasa. Kamis lalu, lembaga yang fokus pada pengembangan sumberdaya untuk penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Rifka Annisa, memperingati ulang tahunnya yang ke-17. Perempuan, sudahkah mereka merdeka?

"Memerdekakan Perempuan Memerdekakan Indonesia", itulah tema peringatan ulang tahun Rifka Annisa. Barangkali jamak dan akrab terdengar. Nyaring juga mengemuka dalam berbagai seminar dan dialog. Kalau kata "merdeka" selalu diulang-bicarakan, berarti ada persoalan di sana.

Lihat saja kasus aduan yang masuk ke Rifka Annisa, lembaga yang berkantor di Jalan Jambon, Tegalrejo, Kota Yogyakarta, itu. Terbaca pula dari fakta-fakta non-angka, keseharian yang dihadapi perempuan.

Antara Januari-Juni 2010 saja masuk 161 kasus. Terbanyak adalah pengaduan adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dari jumlah tersebut, sebanyak 11 kasus tentang kehamilan yang tak diinginkan, dan 16 kasus yang lain kasus perkosaan.

Dari berbagai kasus yang muncul itu, hanya 70 persen perempuan korban KDRT yang lapor langsung bertemu muka untuk berkonsultasi. Dari 70 persen itu pun, banyak yang datang diam-diam. Takut dengan suami atau pacarnya. Yang lain, 30 persen, pengadu memilih menelepon dan melayangkan surat elektronik.

Sebenarnya, bagaimana gambaran kondisi para pelapor? "Banyak yang datang ke kami harus kucing-kucingan dengan suami. Duduk berkonsultasi pun, ponsel mereka berdering, ditelepon suami. Ada yang batal datang karena dikuntit atau ketahuan suami," ujar Nisa Khoerunisa, Humas Rifka Annisa.

Adapun hasil konsultasi, sebanyak 90 persen penyelesaian laporan berujung pada "kembali pada pasangan". Banyak alasan melatarbelakanginya, mulai dari ketergantungan biaya hidup, ingin tetap menjaga keutuhan rumah tangga, dan kepentingan anak, hingga alasan tidak tega.

"Mereka yang memilih kembali pada pasangan tak bisa dikatakan melakukan hal salah. Namun, dari hal itu jelas terlihat budaya patriarki masih bertakhta. Perempuan yang sudah jengkel dan sakit hati-fisik hanya bisa menggertak laki-laki," kata Nisa.

Di lapangan, jangankan melapor, "menggertak" pasangannya pun tak berani. Mereka memilih diam, mencari jalan keluar dalam kebisuan. Bahkan, ada yang akhirnya bunuh diri. Tak hanya sendiri, tetapi mengajak serta buah hati mereka. Belum lama kasus bunuh diri ibu dan anaknya meminum racun sebagai pelarian atas beban ekonomi dan perilaku serong suami.

Dianggap kafir
Direktur Rifka Annisa Mei Sofia Romas berkisah masa awal berdirinya Rifka Annisa. Sungguh tak mudah. Tentangan dan sindiran berdatangan, termasuk dari kalangan pemuka agama. Bahkan, lembaga itu dicap kafir.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com