Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jajanan Pekalongan, Bukan Cuma Soto Tauto

Kompas.com - 22/12/2010, 18:42 WIB

KOMPAS.com - Ketika singgah ke kota Pekalongan, Jawa Tengah, Anda tak hanya akan dimanjakan dengan batik, tetapi juga kulinernya. Memang bila Anda bertanya pada orang Pekalongan tentang jajanan khasnya, mereka biasanya berpikir keras lebih dulu. Bukan, bukan karena makanan enak sulit didapat, tetapi karena jajanan di sana tergolong makanan sehari-hari yang sudah dianggap biasa di sana. Siapa sangka, hidangan tersebut sangat menggugah selera bagi yang menikmatinya pertama kali.

Pindang Tetel adalah salah satunya. Sepintas, makanan ini mirip dengan rawon, sup yang terdiri atas daging tetelan dan kuah hitam. Namun bila Anda mencicipinya, rasanya tak persis sama dengan rawon. Pindang Tetel terasa lebih manis, dan kuahnya pun tak sepekat atau sekental rawon.

Pindang Tetel tidak dinikmati sebagai lauk nasi, melainkan digado dalam porsi kecil (oleh sebab itu makanan ini lebih tepat disebut sebagai jajanan). Cara penyajian makanan ini juga sangat sophisticated. Penjualnya tidak menyediakan piring atau mangkuk, melainkan daun pisang yang kedua ujungnya dijepit dengan lidi menjadi pincuk. Sepincuk Pindang Tetel harganya Rp 5.000, dan dijamin Anda tak akan puas hanya dengan porsi satu pincuk.

Selain kuah dan daging, sebagai pelengkap ditaburkan remasan kerupuk putih dan sambal berwarna hitam yang merupakan hasil dari pertemuan cabai rawit dan gula merah. Anda juga tidak diberi sendok untuk menyuap, melainkan biting (lidi kecil) untuk menusuk daging dan kerupuk tersebut. Kemudian, Anda menyeruput kuahnya yang panas langsung dari pinggir pincuknya.

Salah satu penjual Pindang Tetel ini kami temui saat ia bertandang ke Rumah Batik Liem Ping Wie di jalan Kedungwuni, Pekalongan, Jumat (17/12/2010) lalu. Ibu Siti, demikian namanya (ia mengaku tidak tahu berapa usianya), sudah berjualan Pindang Tetel selama 30 tahun! Ia berkeliling menjajakan makanan tersebut dari rumah ke rumah, sambil menggendong panci besar berisi kuah Pindang Tetel yang panas mengepul-ngepul.

"Kalau mau, makan kerupuk saja sambil diberi sambal ini juga enak, lho!" ujar Bu Siti merayu kami. Awalnya memang lekker, tapi makin lama makin terasa pedasnya.

Untuk sarapan, di jalan Sulawesi terdapat warung Nasi Uwet Haji Zarkasi. Sepintas, warung makan yang sudah ada sejak 1959 ini tampak seperti warteg biasa. Di dalam "etalase", tampak piring dan panci-panci berisi lauk-pauk. Ada jeroan seperti paru, otak sapi, serundeng daging, semur tahu dan telur, tumis petai, hingga sate kambing. Tak ketinggalan lauk yang hampir selalu ada dalam setiap momen bersantap: megono. Makanan ini berupa irisan tipis-tipis nangka muda yang dicampur parutan kelapa, lalu dioseng.

Lalu, mana yang disebut sebagai Nasi Uwet?

"Yang ini," kata putri Haji Zarkasi yang melayani pembeli, sambil menunjuk panci besar berisi kuah hitam. "Mirip semur, tapi bukan semur. Rawon juga bukan. Lebih tepat dibilang mirip garang asem, dengan tetelan daging."

Seperti Pindang Tetel, Nasi Uwet memiliki cita rasa yang manis. Kuah panasnya terasa mengalir ke perut, memberi energi baru di dalam tubuh. Sepiring Nasi Uwet dengan porsi nasi yang sangat pas untuk sarapan, harganya Rp 7.000. Setiap tambahan lauk lainnya yang kebanyakan daging, harganya ditambah Rp 5.000. Tetapi banyak juga yang hanya memesan Nasi Megono dengan telur, yang hanya Rp 7.000. Anda bisa menikmatinya dengan kerupuk putih atau keripik paru yang superduper crispy. Bila belum kenyang, di atas meja masih disediakan aneka gorengan dan pisang rebus.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com