Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencari Diri Lewat Tubuh

Kompas.com - 07/02/2011, 09:14 WIB

KOMPAS.com - Operasi kecantikan atau operasi plastik itu sebenarnya masalah fisik atau psikologi? Kalau Anda bertanya kepada dokter ahli bedah kecantikan, pasti akan dijawab: kedua-duanya.

Sudah banyak yang mempertanyakan teka-teki seperti itu. Lebih jauh lagi bahkan pertanyaan operasi tubuh untuk kepentingan kecantikan sebenarnya masalah etik atau estetik? Masalah teknik atau masalah eksistensial?

Suatu saat di sebuah tempat pelesiran malam terkenal di Singapura, di sebuah kelab yang sangat ramai di mana sebagian orang barangkali kepalanya terasa sedikit melayang karena pengaruh minuman, tiba-tiba terlihat seorang perempuan dengan pakaian seksi. Usia paruh baya, orang Indonesia.

Di tempat sama kebetulan sedang bersantai di situ seorang ahli bedah plastik asal Brasil, yang di tempat praktiknya di Singapura banyak menerima pasien dari Indonesia. Keahlian dokter ini adalah bidang seperti operasi payudara, peremajaan kulit, botox/fillers, operasi pembentukan tubuh, dan lain-lain.

Perempuan Indonesia itu melihat dokter tadi. Hai, sapanya ramai. Mereka rupanya saling kenal. Dengan satu tangan memegang gelas minuman, perempuan ini mendekat ke si dokter. Ia menggelendot mesra. Selain bertanya apa kabar dan semacamnya dia menunjukkan kabarnya sendiri.

”Lihat, ini masih bagus, kan...” begitu kurang lebih ucapnya sembari membuka belahan pakaian bagian atas, memperlihatkan bagian tubuhnya di keremangan cahaya kelab. Si dokter cuma tertawa-tawa menanggapi kemanjaan perempuan ini.

”Saya tidak bicara tentang pasien,” tukas dokter ini ketika kami ingin menegaskan apakah betul dia yang menggarap bagian tubuh yang sekilas tampak apik seperti ”Brazilian sculpture” tadi. ”Tapi kenyataannya Anda lihat sendiri...” lanjutnya tertawa.

Ketenaran Brasil di dunia operasi plastik di kalangan pemuja keindahan fisik melahirkan istilah ”Brazilian sculpture” alias ”ukiran Brasil” bagi kesempurnaan kontur tubuh. Dokter tadi mengaku banyak punya teman seperti itu. Ia merasa dirinya ”superfriend”. Di Jakarta, katanya, ia merasa sebagai ”the most welcome guy among the ladies” alias teman cowok paling diterima di antara para wanita.

Tak jelas, relasi seperti itu bisa dikategorikan sebagai kelebihan atau kekurangan.

Tubuh sebagai peranti
Relasi antara manusia dan tubuh yang terekayasa oleh teknologi kedokteran pernah digambarkan secara menarik oleh penulis Inggris keturunan Pakistan, Hanif Kureishi, dalam novel The Body (2002). Sebagaimana fiksi yang punya kemungkinan melebih-lebihkan, di situ digambarkan teknologi kedokteran telah memungkinkan seseorang bukan saja menyempurnakan tubuh lewat operasi, tetapi bahkan menggantikannya dengan tubuh lain. Termasuk dilakukan tokoh novel ini, seorang pengarang berusia 60-an tahun telah merasa tua dengan problem tulang dan katarak. Suatu saat, dia bertemu seseorang yang bisa membawanya untuk menjalani operasi tukar tubuh, seperti dilakukan orang ini sendiri. Berpenampilan sebagai lelaki umur 20-an tahun, sejatinya dia sudah berusia 80 tahun. Badan baru itu (new body) dia dapat dari rumah sakit. Dengan badan barunya, ia bisa meneruskan ambisi-ambisi yang belum tercapai.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com