Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Naik Bersama Batik Lasem

Kompas.com - 23/02/2011, 05:22 WIB

Hendriyo Widi dan Sidik Pramono

Sore itu orang-orang berkumpul di ruang tamu yang penuh kain mori putih yang baru digambari malam (sejenis lilin untuk membatik), kain batik setengah jadi, sampai kain batik dalam karung siap kirim. Seperti yang rutin terjadi sehari-hari, saat itu buruh batik menunggu pembagian upah.

Saat seperti itu adalah saat yang membahagiakan bagi Santoso Hartono, pemilik usaha batik lasem ”Pusaka Beruang”. Wajah para pekerja berbinar menerima hasil jerih payahnya. Meski bukan industri pabrikan, saat ini tercatat 754 tenaga kerja terlibat dalam usaha batik lasem milik Santoso. ”Jika tak berani memberi makan orang (lain), apa artinya kerja?” kata penerima penghargaan Upakarti Jasa Pelestarian saat itu.

Para pekerja tersebut dibayar dengan sistem borongan berdasarkan pencapaian mereka hari itu. Sekitar Rp 5 juta-Rp 7,5 juta per hari mesti disiapkan Santoso untuk pembayaran upah. Tak ada lagi cerita buruh yang hanya dibayar Rp 4.000 per hari sebagaimana terjadi tahun 1990. ”Sekalipun buruh, mereka harus hidup layak,” kata Santoso.

Tidak semuanya bekerja di rumah, sekaligus tempat usaha, Santoso di Jalan Jatirogo, Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Sekitar 40 orang bekerja di bengkel kerja di kawasan Karasjajar, Kecamatan Pancur—sekitar 4 kilometer dari kediaman Santoso di Jatirogo. Di situ berdiri bangunan sederhana untuk menampung para pembatik. ”Industri makin mendekat ke desa, tempat tinggal para pembatik,” kata Santoso.

Sentra batik di Rembang adalah Kecamatan Pancur, Pamotan, dan Lasem. Masing-masing kecamatan punya ciri khas. Penduduknya memiliki keahlian tersendiri dalam membatik.

Santoso juga turut menggulirkan ide mempromosikan batik lasem sekaligus pelestarian bangunan cagar budaya. Tempat pemasaran yang berada di jalan pantai utara Rembang- Lasem itu bernama Griya Batik Lasem. Bangunan kuno yang didirikan tahun 1800-an tersebut pernah dipakai untuk Kawedanan Lasem. Saat ini bangunan itu menjadi pusat pemasaran batik lasem para pengusaha kecil menengah yang bergabung dalam Koperasi Batik Lasem.

”Selama ini perajin tersebar di daerah pedalaman Rembang sehingga pembeli kesulitan mengakses produk-produk perajin,” kata Santoso. Dengan adanya pusat pemasaran di pantura, dia berharap mampu ”mencegat” pembeli luar kota yang melalui jalur itu.

Generasi ketiga

Santoso merintis usahanya Maret 2005 dengan hanya empat pekerja saja. Ia memang mengenal batik sedari kecil. Anak kedua dari enam bersaudara pasangan Tirto Hartono (Ang Tjay Gwan)-Sri Endah Wahyuningsih (Djie Frieda) ini generasi ketiga pembatik di keluarganya. Namun, sekalipun karya keluarganya laku sampai ke Jawa Timur, bahkan Sumatera, usaha mereka tidak tergolong besar. ”Kalau tidak salah, sudah tutup sejak 1980-an,” kata Santoso.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com