Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terlambat Mendamba Buah Hati?

Kompas.com - 31/03/2011, 09:29 WIB

KOMPAS.com - Selama ini, Anda mungkin belum punya bayangan untuk mempunyai anak. Anda masih disibukkan dengan karier, hubungan dengan suami, dan tentunya dengan mimpi-mimpi Anda. Nantilah, begitu kata Anda ketika ditanya kapan punya anak. Ternyata, "nanti" itu sudah jadi "sekarang". Ketika bertemu dengan teman yang tengah menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga kecilnya, mendadak dorongan untuk memiliki bayi itu meluap-luap. Tiba-tiba Anda sadar usia Anda sudah merambat naik, dan Anda dilanda kepanikan mengapa tak sedari dulu merencanakan momongan.

Para peneliti di University of Texas di Austin, Texas, belum lama ini memaparkan satu tanda yang menunjukkan bahwa tubuh kita berteriak bahwa waktu kita untuk merencanakan anak sudah mepet: libido yang naik. Dalam penelitian mereka yang diterbitkan di jurnal Personality and Individual Differences edisi Juni 2010, terlihat bahwa hasrat kita mempunyai anak justru meningkat ketika kesuburan kita menurun.

"Perempuan yang kesuburannya menurun akan lebih sering memikirkan seks, memiliki fantasi seksual yang intens dan berulang-ulang, lebih bersedia melakukan penetrasi seksual, dan melakukannya lebih sering daripada perempuan seusianya. Penemuan ini menunjukkan bahwa jam biologis perempuan bisa mengubah motivasi psikologis dan perilaku yang sesungguhnya untuk memfasilitasi kesuburan yang masih tersisa," ujar para peneliti, yang menghimpun 827 perempuan usia 18 - 65 tahun untuk studinya.

Pada dasarnya, setiap perempuan mempunyai insting mempunyai anak, yang secara hormonal terkait dengan dorongan seks kita. Motivasi seksual, menurut Warren Miller, MD, psikiater di Transnational Family Research Institute di Aptos, California, merupakan bagian dari sistem berpasangan (misalnya, jatuh cinta dan ingin berhubungan intim). Namun, dorongan untuk memiliki anak adalah suatu elemen dari keinginan untuk mengasuh. Desakan untuk membesarkan, mencintai, dan mengasuh seseorang yang lebih membutuhkan daripada kita.

"Itulah rencana alam untuk memastikan bahwa kita akan menjaga anak-anak yang kita lahirkan," cetus Dr Miller.

Kekuatan sistem bonding ini secara alami bervariasi dari satu perempuan ke perempuan lainnya. Hal itu tergantung dari faktor-faktor seperti genetik, riwayat keluarga, dan pengaruh budaya. Orientasi yang sangat kuat untuk punya anak disebabkan karena memiliki anak akan membuat otak mereka merasakan suatu penghargaan yang besar. 

Untuk memelajari motivasi perempuan mempunyai anak, Dr Miller membuat dua skala: satu yang mengukur hasrat positif untuk hamil, dan kedua yang mengukur hasrat negatif untuk tidak hamil. Yang positif misalnya, "Saya yakin suami saya akan menjadi ayah yang baik". Yang negatif: "Aku nggak tertarik pada bayi dan anak-anak. Mereka berisik dan merepotkan".

Namun, setiap orang ternyata memiliki kedua sisi ini. Skala itu tidak mampu menjelaskan dorongan mempunyai baby yang sukar dipahami. Keinginan itu merupakan sesuatu yang biologis yang melawan pikiran sehat, yang dipicu oleh usia, jatuh cinta, kehamilan sebelumnya, atau tekanan dari luar. Baby fever tidak bisa dipuaskan dengan mengasuh anak orang lain, atau merawat piaraan.

 

Memang, seringkali dorongan yang kuat ini masih "digoyang" oleh pemikiran-pemikiran lain yang dianggap lebih rasional. Bagaimanapun, peran sebagai ibu bekerja diyakini sebagai suatu tantangan yang berat. "Membesarkan anak itu sangat sulit, dan Anda harus benar-benar yakin ingin melakukannya," tutur seorang perempuan. "Jika Anda memikirkan tentang bayi sebanyak itu, tetapi Anda masih khawatir bagaimana menjadi ibu, mungkin Anda tak usah menjadi ibu."

Menurut Merle Bombardieri, pekerja sosial klinis yang berspesialisasi di masalah ketidaksuburan, banyak pemikiran-pemikiran semacam itu yang muncul melalui alam bawah sadar. "Orang sering terbangun tengah malam ketika alam bawah sadar itu meminta mereka untuk membuat keputusan yang belum siap mereka putuskan. Emosi dapat menstimulasi hormon, tapi kebanyakan transisi dalam kehidupan ini dipicu oleh isu-isu interaksi yang kompleks. Beberapa perempuan merasakan dorongan untuk punya bayi, tapi masih memilih untuk tidak mempunyai anak," kata penulis buku The Baby Decision ini. Bahkan, banyak pasangan yang masih merasakan pertentangan itu ketika mereka sudah hamil.

Namun, kerap kali keyakinan itu datangnya terlambat. Banyak pasien yang merasakan dorongan ini ternyata memiliki masalah kesuburan. Dihadapkan pada kemungkinan untuk tidak mempunyai anak justru membuat mereka menyadari betapa kuatnya keinginan mereka memilikinya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian University of Texas di atas, bahwa hasrat kita mempunyai anak justru meningkat ketika kesuburan kita menurun.

Jadi, bagaimana seharusnya kita bersikap? Apakah menghentikan "perang" di dalam diri, dan menjalani proses kehidupan apa adanya saja, ataukah memastikan diri telah benar-benar siap mempunyai anak dengan memahami setiap resikonya?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com