Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Oscar Lawalata: Gelisah dengan Nasib Kain Tenun Ikat

Kompas.com - 09/05/2011, 18:31 WIB

KOMPAS.com - Pameran seni kontemporer bertema mode dan fashion, Dysfashional #6 Jakarta, menjadi wadah bagi Oscar Lawalata dan Davy Linggar menuangkan kegelisahannya.

Dysfashional #6 Jakarta mengambil tema mode dan fashion, namun tanpa menghadirkan produk fashion dan peragaan busana. Lima seniman Indonesia terlibat dalam pameran seni kontemporer ini, tampil sejajar dengan belasan seniman Eropa lainnya. Jakarta, dipilih dua kurator Italia, Luca Marchetti dan Emanuele Quinz, sebagai lokasi pameran untuk keenam kalinya setelah Luxembourg (2007), Lausanne (2008), Paris (2009), Berlin dan Moskow (2010). Pameran seni kontemporer Dysfashional #6 Jakarta berlangsung 8-15 Mei 2011 di Galeri Nasional Indonesia.

Perancang busana ternama Oscar Lawalata, menampilkan kursi kayu tradisional, yang biasa ditemui di ruang kelas sekolah. Bedanya, sembilan kursi ini bergambar motif tenun ikat Nusa Tenggara Timur, khususnya motif Timor, Sumba, Sabu, dan Alor.

"Pesannya adalah edukasi. Pendidikan mengenai budaya tidak didapatkan anak sejak kecil. Kursi sekolah melambangkan suasana kelas. Sementara motif tenun ikat pada kursi sekolah ini bermakna pendidikan budaya harus diajarkan sejak dini. Budaya, tradisi, tarian harus diajarkan ke generasi muda. Makna lainnya adalah profesi kreatif juga perlu dikenalkan agar tidak punah, termasuk penenun kain ikat di NTT ini. Anak perlu diajarkan untuk bekerja, dalam bidang apapun, dengan mengangkat budaya Indonesia. Termasuk memberikan pilihan profesi di bisnis kreatif," jelas Oscar kepada Kompas Female di sela pembukaan pameran untuk media, Sabtu (7/5/2011) lalu.

Butuh waktu sepuluh hari bagi Oscar untuk menyelesaikan karya seninya. Misi edukasi tergambar dengan tegas melalui gambar motif tenun ikat NTT dalam media kursi. Motif tenun ikat NTT tergambar dengan detil, kaya warna dan sarat tradisi budaya.

Matinya kebebasan berekspresi
Tak hanya Oscar yang gelisah, bahwa penenun kain ikat NTT akan punah jika anak tidak mendapatkan pendidikan budaya. Fotografer fashion, Davy Linggar, mengajak pengunjung memanjatkan harap, agar kebebasan berekspresi dalam dunia fashion tak lagi dibelenggu. Davy menampilkan karya lukisan yang berangkat dari foto, mengadaptasi dari karyanya pada 2005 "Ping Swing Park".

Karya asli "Ping Swing Park", lukisan dengan pose setengah polos bintang sinetron Anjasmara dan model Isabel Yahya, pernah dipamerkan di Museum Bank Indonesia, tapi Front Pembela Islam menganggapnya sebagai pornografi dan harus dicopot. Menurut Davy, lukisan berukuran lima meter tersebut, hingga kini, tak ada di tangannya karena masih menjadi barang bukti di kepolisian.

"Karya saya di pameran ini menggambarkan matinya kebebasan berekspresi di Indonesia. Namun sekaligus juga mengajak orang lain mendoakan semoga kebebasan berekspresi dalam fashion tak lagi dibatasi. Setiap pengunjung pameran, boleh menyalakan lilin di wadah yang tersedia, agar kumpulan lilin tetap menyala hingga pameran berakhir," jelasnya.

Dalam karya instalasinya untuk Dysfashional #6 Jakarta, Davy meletakkan meja dengan puluhan lilin di atasnya. Cahaya lilin inilah yang menerangi adaptasi lukisan dari foto "Ping Swing Park", yang ditempelkan di dinding. Di laci meja, tersedia lilin yang belum dinyalakan, dan bebas diambil pengunjung, untuk dinyalakan dari api yang masih menyala di meja. Dengan begitu, setiap pengunjung bisa berkontribusi, agar lilin tetap menyala hingga Dysfashional resmi berakhir minggu depan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com