Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hati-hati Membawa Tas Bermerek Palsu!

Kompas.com - 15/09/2011, 09:29 WIB

KOMPAS.com - Hati-hati membawa tas palsu dari merek terkenal. Sudah banyak cerita di kalangan ibu-ibu, ketika mendarat di pelabuhan internasional, tas palsu itu disita petugas. Masih mending cuma disita, kadang barang tersebut dihancurkan di depan mereka—mungkin untuk mempermalukan.

Pengawasan barang palsu memang semakin ketat. Seperti diceritakan Cicilia King, Communication Manager Louis Vuitton (Indonesia), terutama di Eropa pihak perusahaan melakukan pendidikan termasuk kepada petugas-petugas di bandara sehingga mereka mampu mengidentifikasi suatu barang asli atau palsu. Louis Vuitton, menurut berbagai catatan, adalah merek terkenal paling banyak dipalsu.

Meski kualitas barang palsu makin hari semakin canggih—kadang sulit bagi yang tak akrab dengan dunia konsumsi untuk membedakannya dari yang asli—petugas toko pasti bisa membedakan. Ada cerita, seorang wanita dari Indonesia berbelanja di sebuah butik merek terkenal di Singapura. Tas yang dipakainya asli. Hanya ketika mengeluarkan dompet kecil dari dalam tas, pihak toko sempat melihat sepintas dompetnya. Tak berapa lama sepulang ke Indonesia, wanita itu menerima surat dari merek terkenal tadi yang isinya peringatan berikut konsekuensi hukumnya, bahwa dia memakai dompet palsu dari merek mereka.

Soal pemalsuan dianggap serius oleh merek-merek terkenal. Mereka merasa perlu melindungi merek dagangnya, desain, berikut hak ciptanya. Cicilia King mengatakan, di Indonesia urusan legal berkaitan dengan pemalsuan dibawahi oleh departemen yang mengurusi hal ini untuk kawasan Asia Pasifik. Ia menunjukkan catatan yang pernah dilakukan Louis Vuitton, misalnya penggerebekan empat pabrik dan tiga gudang di Gyeonggi, Korea, penangkapan truk yang memuat 40.000 produk palsu di Guangzhou, China, dan lain- lain. Bukan hanya di Asia, operasi seperti itu juga menemukan berbagai produksi palsu di Eropa, Amerika, serta Amerika Latin.

Logo, simbol
Kalau pada kenyataannya barang palsu masih terdapat di mana-mana di sekitar kita, itu semata-mata menunjukkan memberantas pemalsuan memang bukan soal mudah. Dana Thomas, penulis buku berjudul Deluxe (2007) yang menceritakan ihwal barang-barang mewah, menuturkan pengalaman ketika dengan seorang pejabat urusan legal dari sebuah merek mewah mengunjungi Guangzhou, China. Guangzhou dikenal dunia sebagai tempat diproduksinya berbagai tiruan merek mewah.

Katanya, memberantas pemalsuan di China tidak mudah. Konfusius mendemokratisasikan pendidikan di China pertama-tama dengan mendorong pengopian karya pemikir-pemikir besar, agar pengetahuan cepat menyebar ke semua kelas. Tambah rumit, pemerintahan komunis mengisyaratkan semua properti milik negara—bukan individual, perusahaan, atau korporasi. Tahun 1980-an mulai ditetapkan undang-undang berhubungan dengan paten dan merek dagang. Selama berabad-abad mereka terbiasa mengopi apa saja, tiba-tiba harus stop, apakah persoalan kemudian sesederhana itu? Di situ terjadi semacam dilema kebudayaan.

Sejarah peniruan atau pemalsuan konon setua peradaban ini sendiri. Di Roma pada 100 tahun sebelum Masehi, muncul kelompok kaya baru. ”Kekayaan tidak serta-merta memberikan status,” kata Jonathan Stamp, ahli sejarah klasik dan pembuat film dokumenter seperti dikutip Thomas. ”Dibutuhkan kekayaan plus sesuatu yang lain, misalnya obyek.”

Untuk mendapatkan status seperti kelompok kaya sebelumnya, kelompok kaya baru ini mulai meniru-niru perkakas dan berbagai peranti orang kaya lama. Lahirlah barang-barang tiruan, meluas seiring meluasnya kelompok kaya baru itu.

Nyaris menjadi kodrat, orang mengekspresikan status lewat simbol-simbol—pakaian, ornamen, dan barang-barang kepemilikan lain. Juga melekat pada sebagian besar orang, kecemasan mengenai bagaimana orang lain menilai status sosial mereka. Di situ simbol semakin menemukan signifikansi peran.

Logo Louis Vuitton yang terkenal dengan huruf L dan V saling kunci disertai motif floral diciptakan Georges Vuitton tahun 1896, untuk mengenang ayahnya, Louis Vuitton. Kini, simbol itu dipalsu di mana-mana.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com