Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peluang Menjanjikan Bisnis "Sculpted Cake"

Kompas.com - 22/06/2012, 17:34 WIB

KOMPAS.com - Tiga tahun ke depan bisnis sculpted cake  atau kue 3 dimensi diperkirakan masih menjanjikan. Agar tetap bertahan, lakukan inovasi dan terus belajar. Yang paling penting, percaya diri dan jangan terlalu rendah menghargai karya sendiri!

Seperti apa perkembangan bisnis sulpted cake di Indonesia saat ini, Dewi Anwar (46) dari Kitchen Craft Cake memberi gambaran. Sclupted cake (SC), carving cake, dan cake 3D  (3 dimensi) sebenarnya sama saja pengertiannya. Pemakaian istilah carving atau sculpted  pun tak lantas diartikan secara harafiah yaitu dipahat.

“Istilah yang dipakai boleh apa saja, tapi maksudnya sama. Artinya kue yang dibentuk secara 3 dimensi hingga menyerupai benda aslinya yang diinginkan, seperti mobil atau karakter kartun,” tutur Dewi yang juga pengajar di komunitas Natural Cooking Club.

Sebenarnya kue-kue 3D ini sudah diminati sejak tahun 2005-2006. Ketika itu belum banyak yang melihat kue sebagai karya seni. Padahal, pembuatan SC memang tak ubahnya menciptakan karya seni. “Kebanyakan membandingkan SC dengan cheese cake atau black forest yang lebih murah harganya. Sementara home baker belum punya nama, dan konsumen tidak mengerti proses pembuatan SC. Mereka hanya menghargai kuenya saja, bukan kreasinya.”

Seiring waktu dan peminat yang makin meningkat, nilai bisnis SC pun turut naik. Bahkan tergantung tingkat kerumitan SC, sebuah kue 3D bisa dihargai jutaan rupiah!

Harga jual kreasi

Alat dan bahan pembuatan SC sebenarnya tak terlalu macam-macam, hampir sama dengan alat dan bahan untuk membuat kue biasa. Mikser, oven, loyang, spatula, dan baskom. Jika pesanan sudah mulai banyak, baru boleh perbaharui alat dengan yang lebih canggih. “Kalau mikser kecil sudah tak mencukupi, bisa ganti yang besar dan otomatis. Begitu pula dengan oven yang lebih besar agar lebih banyak adonan yang bisa tertampung,” kata Dewi.

Investasi terpenting dalam usaha SC adalah alat dekor kue yang harganya tidak murah. “Di Indonesia belum ada produsennya, jadi masih harus impor dari Amerika atau Inggris. Kalaupun ada agen yang menjual di sini, harganya lebih mahal lagi.”

Selain itu, investasi lain yang tak kalah penting adalah buku sebagai sumber referensi, kendati Dewi tak menyarankan menggunakan gambar dari buku sebagai contoh kue jualan. “Lebih baik gunakan kue hasil buatan sendiri. Karena jika memberi contoh dari gambar di buku, lalu saat dibuat sendiri hasilnya berbeda, bisa bahaya buat diri sendiri,” terangnya.

Selanjutnya, perlakukan SC tak ubahnya sebuah karya seni. Artinya, ketika membuat SC usahakan bentuk kue semirip mungkin bentuk aslinya. Pasalnya, kini banyak yang menjual SC asal-asalan. “Banyak yang bikin SC, tapi tak semua bisa mirip benda aslinya. Banyak yang asal bikin saja.”

Di sisi lain, Dewi mengaku, rela bersusah-payah demi menghasilkan kreasi yang semirip mungkin dengan asliya. “Saat hendak membuat bentuk Jeep misalnya, karena tak punya Jeep saya bela-belain mencari Jeep asli agar bisa memperhatikan detail sekecil apapun. Nah, perjuangan ini yang harus dihargai,” terangnya.

Pandangan konsumen yang menganggap tukang kue hanya mengocok dan mencampur bahan menjadi kue juga harus diungkap. “Tidak semudah itu. Justru seperti arsitek, pakai hitungan segala. Misalnya saat membuat model panda, bagaimana agar kepala dan badannya seimbang. Jika salah perhitungan bisa amblas,” tukas Dewi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com