Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/09/2012, 10:42 WIB

KOMPAS.com - Margie pernah takut bermimpi, meski ia bukan tak berprestasi. Tekad mengantarnya ke posisi strategis di perusahaan multinasional pada usia 22 tahun. Penuh energi, ia menggeluti bisnis media, internet, dan dunia penulisan. Baginya, hidup mesti asyik dan bermakna.

Margareta Astaman—biasa dipanggil Margie—merampungkan kesarjanaan komunikasi dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, dengan peringkat nilai tinggi pada usia 22 tahun. Karena materi studi dan tugas akhir kelar setahun lebih cepat dari ”jatah” waktu kelulusan, setahun terakhir kuliahnya pun ia isi dengan aneka proyek kerja.

Sebelum tamat kuliah, ia sudah menjajal karier di Ernst & Young, Singapura. Begitu tamat kuliah, ia pilih menjadi editor gaya hidup di portal MSN Singapura sekaligus mengelola perwakilan MSN di Indonesia. Tiga tahun kemudian, ia beralih jadi Asisten Wakil Presiden Multiply, perusahaan multinasional lainnya yang juga bergerak di internet.

Dinamika dunia media dan internet membuat Margie kemudian memilih membangun dari awal PT Indoportal Nusantara yang mengelola iyaa.com—portal agregasi dan aliansi konten 57 media nasional dan 127 blog terpilih. Perencanaan dan eksekusi pengembangan bisnis jasa hingga pengelolaan komunitas pendukung jadi tanggung jawab Margie.

”Di sini aku bisa mulai membangun dari nol. Itu memuaskan kreativitasku banget. Perkembangan dunia online sangat menarik. Enggak ada hal sekecil apa pun yang kalau ditekuni dengan sungguh-sungguh enggak jadi sesuatu di sini,” ujarnya.

Keasyikan yang terlihat sepele, seperti berkutat dengan jejaring sosial Facebook dan Twitter misalnya, dicontohkan Margie, bisa membuat seseorang sukses sebagai manajer media sosial karena perkembangan teknologi saat ini memang sedang mengarah ke sana.

Di antara kesibukan karier, perempuan belia ini masih sempat menulis dan menerbitkan lima buku. Gaya tulisannya ringan dan renyah, tetapi cerdas dan analitik. Menulis adalah cita-cita Margie. Untuk mewujudkan cita-cita itu, ia harus menepis banyak penolakan dan stempel ”Kamu tidak bisa menulis!”

”Ngotot” demi menulis
Sejak duduk di bangku SMA, Margie sudah memutuskan bermasa depan sebagai penulis. Padahal, ia jago matematika dan peserta Olimpiade Biologi. Tantangan pertama untuk mewujudkan cita-citanya jadi penulis adalah lulus tes untuk beasiswa kuliah di NTU pada jurusan teknik, bukan komunikasi, jurusan idamannya.

Toh, ia tak menyerah. Dia ngotot untuk dipindahkan dari fakultas yang sebenarnya bergengsi itu ke fakultas komunikasi. Akhirnya Margie lolos dengan catatan: bahasa Inggris-nya di bawah standar yang disyaratkan fakultas itu. Konsekuensinya, ia harus dipantau ketat.

Sepanjang tahun pertama kuliah, ia dibuntuti sorot mata para pengajar yang meragukan kemampuannya. Pada tahun kedua, ia sudah termasuk lima persen mahasiswa berperingkat nilai tertinggi di fakultas. Jatah kuliah empat tahun dengan beasiswa pun ia selesaikan dalam tiga tahun.

Sisa waktu setahun di lingkungan Kampus NTU ia manfaatkan untuk mendalami fotografi dan bahasa Perancis sambil bekerja di Ernst & Young. Tak ketinggalan, ia juga sibuk dengan banyak proyek lain. Dengan kamera pinjaman dari kampus, Margie bekerja sebagai fotografer lepas dan jalan gratis ke beberapa negara. Ia juga jadi kontributor kantor berita Reuters.

Meski begitu, tamat kuliah, Margie segera berhadapan dengan tantangan berikutnya: setumpuk surat penolakan yang intinya mengatakan, ia tak bisa menulis dan tak perlu berkarier di bidang penulisan.

”Aku mungkin bisa saja banting setir jadi pegawai dengan modal nilai kelulusan dari NTU. Tapi nyatanya aku ngotot lagi, menulis adalah satu-satunya yang aku suka. Aku asah kemampuan menulisku lagi lewat blog dan tetap pede waktu ditanya apa aku bisa jadi editor.”

Tak tanggung-tanggung, peluang terbuka bagi Margie untuk posisi editor dan manajerial di MSN.

Pengalaman menginspirasi Margie menulis salah satu bukunya, Fresh Graduate Boss. Buku itu bukan biografi dirinya. Ia merasa perjalanannya menuju pensiun dini—berjaya sebelum tua—masih jauh. Meski begitu, dengan lantang, ia sudah bisa menyerukan gagasan lewat buku itu, tak perlu jadi tua dulu untuk jadi bos.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com