Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/10/2012, 11:23 WIB

KOMPAS.com - Sekalipun wacana persamaan hak dan emansipasi perempuan sudah dicanangkan beberapa tahun lalu, namun sampai saat ini praktik diskriminasi seperti pelecehan seksual di tempat umum atau rendahnya peluang perempuan untuk melanjutkan pendidikan, masih banyak terjadi di Indonesia.

Menurut data Plan Indonesia, sekitar 150 juta anak perempuan di bawah usia 18 tahun di berbagai belahan dunia pernah mengalami kekerasan termasuk pemerkosaan atau kejahatan seksual lainnya. Fakta yang lebih menyedihkan, sekitar 44 persen pelaku pernikahan dini mengalami kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Desti Murdiana, Wakil Ketua Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa perempuan sudah rentan mengalami tindak diskriminasi sejak dilahirkan. Ironisnya, hal ini kerap dilakukan oleh orang tua si anak itu sendiri. "Misalnya saja, tindakan sunat bayi perempuan yang masih ditemukan di beberapa desa terpencil, dan eksploitasi anak perempuan dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan juga pernikahan," tukas Desti dalam kampanye "Because I Am A Girl" di Jakarta beberapa waktu lalu.

Namun, tak banyak yang menyadari bahwa pernikahan dini yang dialami anak-anak perempuan juga termasuk dalam bentuk diskriminasi. Data Plan mengungkapkan bahwa 10 juta anak perempuan terpaksa atau dipaksa menikah dini setiap tahunnya. "Di Indonesia, 33,5 persen anak usia 13-18 tahun pernah menikah. Rata-rata anak perempuan ini sudah menikah di usia 15-16 tahun," ungkap Nono Sumarsono, Kepala program Plan Indonesia.

Masalah pernikahan dini ini kerap dialami oleh perempuan karena berbagai hal, antara lain kurangnya informasi tentang perkembangan dunia sekitar, tidak adanya kesempatan kerja, rendahnya pendidikan, dan masalah kemiskinan. Banyak orang tua yang beranggapan bahwa menikahkan anak perempuan secepatnya bisa membantu meringankan beban hidup mereka.

Padahal pernikahan dini ini bisa menyebabkan masalah semakin banyak, dan justru memperburuk masa depan perempuan. Karena pernikahan dini ini membatasi gerak si anak, dan hal lain yang seharusnya mereka lakukan. Dari 33,5 persen perempuan yang menikah dini, hanya 5,6 persen yang masih melanjutkan pendidikannya. Namun, saat memasuki dunia kerja mereka juga tidak siap karena sangat minim pengetahuan dan pengalaman.

Desti mengungkapkan bahwa berbagai akibat buruk yang kerap dialami perempuan akibat pernikahan dini  menjadi masalah yang harus secepatnya diatasi pemerintah Indonesia. "Bahkan dunia sudah menyoroti masalah pernikahan dini yang terjadi di Indonesia, dan mendesak pemerintah untuk menuntaskannya. Sayangnya sampai saat ini belum ada penyelesaian," sesal Desti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com