Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/01/2013, 10:30 WIB

KOMPAS.com - Rajutan bukan sekadar produk kerajinan tangan. Jika dibumbui sentuhan kasih, sehelai kain rajut bisa menyampaikan berjuta makna. Ia menjadi hadiah terbaik yang dibuat dari ketekunan dan kesungguhan hati.

Keindahan itu antara lain tampak pada rajutan yang diproduksi Kait. Dari keterampilan tangan ibu-ibu di Malang, Jawa Timur, karya rajutan Kait kini dipasarkan di pusat perbelanjaan papan atas di Jakarta dan Surabaya serta Bali.

Berawal dari hobi, Direktur Kreatif Kait Lusiana Limono dan Manajer Pemasaran Kait Maria Chandra mulai memproduksi rajutan untuk skala komersial sejak awal 2010. Seluruh produk rajutan Kait dibuat dengan keterampilan tangan, ramah lingkungan, dan alami sehingga tidak memicu potensi alergi.

Produk awal yang mereka buat berupa perlengkapan kenyamanan bayi mulai dari topi, sepatu, selimut, hingga boneka mungil. Dari produk perlengkapan bayi, Kait mulai merambah ke produksi baju dan aksesori anak seperti bros serta penjepit rambut, hingga kain stola dan muffler (semacam selendang) untuk dewasa.

”Banyak yang datang ketika kami ikut pameran dan bilang produk kami mahal. Kami terus mencoba mengedukasi konsumen. Rajutan kami dibuat dengan tangan, dari bahan alami, dan bukan produk massal,” kata Maria.

Untuk satu produk rajutan, karyawan Kait membutuhkan waktu pengerjaan hingga dua pekan. Setiap produk menjadi unik karena dirajut dengan tangan. Proses merajut berlangsung sekitar satu pekan, diikuti dengan pencelupan yang bisa memakan waktu beberapa hari.

Pencelupan rajutan dengan pewarna alami seperti jati, kunyit, dan mahoni tergolong lama karena harus dilakukan berulang-ulang. Pewarna alami cenderung netral sehingga warnanya tidak muncul dalam sekali celup. Untuk menghasilkan warna krem, misalnya, dibutuhkan hingga empat kali celup.

Aktualisasi diri
Merajut, menurut Maria, membutuhkan keahlian, ketekunan, ketelitian, dan kesabaran ekstra. Kait tidak hanya mempekerjakan karyawan yang berjumlah lima orang, tetapi juga melibatkan ibu rumah tangga hingga pembantu rumah tangga di Malang yang turut belajar merajut pada waktu luang dan menyuplai rajutannya ke Kait.

Kelas merajut Rajutan Mama yang dibuka oleh Octiani Fitri Laraswati di Mal Depok Town Square, Depok, Jawa Barat, juga terbukti diminati banyak perempuan muda perkotaan. Berulang kali Octiani memberikan kelas merajut bagi karyawan di beberapa perusahaan di Jakarta.

”Pelatihan merajut di kantor mulai jadi tren. Merajut jangan dianggap hanya kegiatan nenek-nenek,” kata Octiani.

Kaum perempuan perkotaan mulai gemar merajut terutama untuk mengisi waktu luang. Ketika masih bekerja di sebuah perusahaan teknologi informasi, Octiani juga terbiasa merajut dalam perjalanan dari Depok menuju kantornya di Kuningan. ”Merajut bisa jadi sarana aktualisasi diri sekaligus melatih konsentrasi,” tuturnya.

Octiani sering kali diminta mengajar merajut untuk pemberdayaan ekonomi kaum perempuan di kawasan permukiman padat penduduk seperti di kawasan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Hanya butuh empat kali pertemuan tatap muka, rata-rata siswa sudah bisa merajut produk rajutan sederhana seperti tempat telepon seluler.

Dengan modal berupa materi bahan baku yang murah dan keahlian merajut, kaum perempuan bisa diberdayakan untuk membuat produk unggulan bernilai jual tinggi. Bahan baku rajutan biasanya bisa dibeli seharga Rp 40.000 hingga maksimal Rp 200.000, dan menghasilkan karya rajutan dengan nilai jual hingga lebih dari Rp 500.000 per helai.

Selain orientasi ekonomi untuk menambah penghasilan, hobi merajut menjadi sarana untuk memberikan barang terbaik bagi orang-orang terkasih. Sebagian siswa sengaja belajar untuk membuat rajutan khusus sebagai hadiah dengan sentuhan pribadi.

Octiani membuka kelas merajutnya sejak 2003. Seiring dengan makin banyaknya jumlah siswa, Octiani melengkapi kelasnya dengan toko untuk menyediakan bahan baku benang dan jarum. Toko juga menjadi ruang pajang rajutan siswa berupa perlengkapan bayi, pakaian, tas, topi, hingga dekorasi rumah seperti taplak meja.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com