Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/01/2013, 10:01 WIB

KOMPAS.com - Bila mengenang Ramli, ciri yang melekat padanya adalah kerajinan tangan. Lebih khusus lagi, bordir. Sepanjang kariernya sebagai perancang busana, Ramli, yang meninggal dunia hari Rabu (23/1/2013) pada usia 62 tahun, tidak pernah lepas dari bordir. Teknik membuat corak hias itu lalu identik dengan Ramli meskipun ia juga banyak menggunakan batik dan corak hias lain.

Penggunaan bordir berhubungan erat dengan latar belakang keluarga dan perjalanan hidup pria kelahiran Jakarta itu. Dalam wawancara dengan Ramli pada November 1996, dia menuturkan keluarganya memiliki usaha bordir kecil-kecilan di Tasikmalaya, kota yang pada dekade 1980-an dan 1990-an menjadi primadona industri bordir Indonesia.

Awal kariernya juga dimulai dari bordir. Saat bekerja menjadi penata rambut di sebuah salon di Jakarta pada tahun 1973, Ramli yang selalu berpenampilan apik kerap memakai kemeja bercorak bordir. Beberapa pelanggan di salon tersebut tertarik dan gayung pun bersambut. Ramli menawarkan bordir tasik dan mendapat sambutan baik. Dia menyebut perancang busana Non Kawilarang sebagai salah satu orang yang menyemangati dia dengan cara memesan bordir kepada Ramli. Sejak tahun 1975 Ramli resmi memasuki dunia mode busana dan menjadikan bordir sebagai ciri khasnya.

Unsur kerajinan tangan sangat kuat dalam karya-karya Ramli. Dia mengombinasikan bordirnya dengan payet dan manik yang dirangkai di atas kain lalu diaplikasikan di atas kebaya atau gaun untuk mencegah rusaknya kain kebaya atau batik. Ramli juga mengombinasikan bordir dan kerancang yang memang populer pada tahun 1980-an.

Salah satu yang membedakan bordir buatan Ramli dari yang lain adalah dia menggunakan bordir penuh seluruh bidang ragam hias, terkadang masih diperkaya dengan payet dan manik.

Konsisten
Berulang kali Ramli menuturkan, dia dikatakan ”kuno” dan ”kampungan” karena menggunakan bordir dalam rancangannya.

Pernyataan Ramli harus diletakkan dalam konteks waktu dan semangat zaman. Pada saat pertengahan 1975 hingga awal 1980-an, bordir lazim dipakai untuk perlengkapan rumah. Pada masa itu juga orientasi mode masih sangat Barat, segala sesuatu yang berasal dari Barat dianggap modern dan terkini. Bordir yang sudah lama berada dalam khazanah busana Indonesia lalu dianggap kurang mewakili citra modern tersebut.

Pada saat yang sama sebetulnya upaya menggali seni kain Indonesia sudah dilakukan perancang lain. Salah satunya almarhum Prajudi Admodirdjo yang mengenyam pendidikan mode di Jerman. Ketua Dewan Pengurus Ikatan Perancang Mode Indonesia Sjamsidar Isa yang bersama Prajudi ikut mendirikan Studio One mengapresiasi konsistensi Ramli dalam menggunakan bordir.

Ramli memang seperti tak peduli dengan hukum besi mode yang selalu berubah demi mendorong orang selalu mengonsumsi. Namun, seperti galibnya mode yang selalu berputar seperti roda, bordir pun akhirnya populer. Ramli pun membuktikan dia tidak ”kuno” seperti yang dikatakan sejumlah orang. Dengan bangga dia pernah mengatakan, akhirnya semua (perancang) memakai bordir.

Dalam konteks saat ini, sumbangan Ramli semakin terasa relevan. Pemerintah tengah menggalakkan ekonomi kreatif dengan 14 bidang industri sebagai fokus. Dari ke-14 bidang tersebut, mode adalah industri yang memberi sumbangan devisa dan lapangan kerja terbesar karena paling berkembang dengan rantai pasok relatif mapan. Industri mode dalam kelompok industri kreatif nasional beririsan dengan industri kerajinan tangan dan bordir salah satunya.

Air yang tenang
Ibarat air, Ramli adalah air danau yang tenang. Dia tidak membuat kejutan mengguncang. Ramli sangat sadar pelanggannya adalah perempuan mapan berusia matang.

Karena itu, garis busananya pun klasik, seperti tunik, celana palazzo berpipa lebar, blus-blus klasik, gaun malam dengan potongan di dada atau pinggang, dan tentu saja kebaya dengan variasi panjang baju atau panjang lengan. Unsur padu-padan sangat kuat dalam kreasi Ramli dengan kesadaran agar baju tersebut dapat dikenakan ke berbagai acara, kebutuhan yang sangat rasional bagi sebagian besar perempuan. Bordir lalu menjadi pemanis, bisa pada lingkar lengan, tepi-tepi blus, kebaya, atau gaun, di bagian leher, atau di bagian dada dan punggung.

Meski tidak terlalu menonjol, Ramli sebenarnya juga merintis mode busana pria, terutama dengan mengambil model busana laki-laki Betawi dengan kerah tegak. Saat tahun 1990-an memang tak banyak perancang memikirkan membuat busana laki-laki.

Batik dan corak daerah sebetulnya juga selalu lekat dengan karya-karya Ramli. Busana Betawi, termasuk kebaya encim, terus hadir dalam karyanya sejak tahun 1990-an. Fauzi Bowo saat menjabat Sekwilda DKI Jakarta pernah menyebut Ramli sebagai penggiat mode yang lebih Betawi dari orang Betawi asli seperti dirinya. Tak heran bila dia selama beberapa waktu juga dipercaya membuat busana untuk Abang dan None Jakarta.

Kesupelannya bergaul dan minatnya berkeliling Indonesia membuat Ramli menemukan kain daerah yang dia anggap menarik. Dia pernah bekerja sama dengan pembatik Kudus, bekerja sama dengan sejumlah pemerintah daerah atau Dewan Kerajinan Daerah, antara lain mengangkat batik Sampang, Madura, hingga corak dari kehidupan sehari-hari masyarakat Kepulauan Riau, antara lain corak tikar.

Ketika masyarakat mulai merasa pengap ditekan penyeragaman selera akibat globalisasi, kebutuhan akan sentuhan lokal kembali muncul. Perancang-perancang muda yang terus bertumbuhan dapat belajar pada keteguhan Ramli bergeming pada kekayaan khazanah budaya lokal. Kepekaan dan kerja keras masing-masinglah yang akan menentukan apakah karya yang dihasilkan akan bertahan dan diakui luas oleh masyarakat. Ramli telah memberi contoh.

(Ninuk Mardiana Pambudy)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com