Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/03/2013, 19:05 WIB

KOMPAS.com - Lagi-lagi ”bodong”. Peristiwa investasi ”kura-kura” alias investasi tipu-tipu kembali menyeruak. Kali ini modusnya melalui pembelian emas. Pemilik uang ditawari untuk membeli emas dengan harga sedikit lebih mahal ketimbang harga pasar. Namun, investor akan diberi imbalan bunga 5-10 persen per bulan, tergantung besarnya investasi. Imbalan akan semakin tinggi jika emas yang dibeli dititipkan kepada pengelola investasi. Menggiurkan bukan?

Namun, coba lihat logikanya. Bagaimana mungkin si pengelola bisa mendapatkan hasil investasi yang kemudian harus dibagikan kepada investor? Boleh jadi, si pengelola akan mengatakan bahwa harga emas akan naik terus. Tetapi juga ada risiko turun.

Nah, investor emas atau pembeli bisa melakukan alih risiko kepada pengelola. Caranya, titipkan emas tersebut. Lalu, si investor akan mendapatkan imbal hasil tetap. Seolah-olah cerita semacam itu masuk akal, padahal sangat tidak masuk akal. Bayangkan, jika investor diberikan 5 persen per bulan, sama artinya dengan 60 persen per tahun.

Pertanyaannya, apakah kenaikan harga emas akan mencapai 60 persen per tahun? Sejumlah data memperlihatkan, belakangan harga emas malah mulai turun. Lalu bagaimana caranya pengelola investasi memutar dana atau emas tersebut untuk memenuhi kewajibannya? Dugaannya, memang tidak ada dana yang diputar. Yang ada hanyalah dana dihimpun. Apa maksudnya? Mari kita bahas.

Arisan berantai
Boleh jadi kita semua tidak tahu bagaimana pengelola investasi emas tersebut melipatgandakan keuntungannya. Namun, jika kita telaah, hanya ada satu kemungkinan. Apa itu? Skema Ponzi alias arisan berantai.

Bagaimana analisanya? Sederhana. Pengelola investasi emas menjual emasnya kepada para pemilik uang. Katakan ada 10 kilogram emas atau 10.000 gram emas. Itu menjadi modal si pengelola investasi. Emas tersebut dijual umpamakan kepada 100 orang, dengan masing-masing membeli 100 gram emas, dengan harga Rp 100.000 per gram.

Berarti sudah ada Rp 10 miliar dana investasi yang masuk. Emas tersebut kemudian dititipkan kembali kepada si pengelola. Dengan demikian, si pengelola telah mendapatkan Rp 10 miliar dan juga emas sebanyak 10.000 gram.

Pertanyaannya, apakah benar emas tersebut disimpan oleh si pengelola? Belum tentu. Emas tersebut dijual kembali kepada pemilik uang yang lain. Dengan modus yang sama, si pengelola investasi kembali meraup Rp 10 miliar. Begitu seterusnya. Dengan kata lain, hanya bermodalkan emas 10 kg emas, si pengelola investasi bisa menjual emas tersebut berkali-kali, tanpa batas. Umpamakan saja, emas tersebut dijual 1.000 kali. Maka, seolah-olah pengelola investasi menjual emas sebanyak 10.000 kg, padahal emasnya itu-itu saja, yakni hanya 10 kg. Itu pun kalau benar sampai 10 kg.

Bisa saja modal awal si pengelola investasi hanya 1 kg emas atau lebih rendah lagi. Lantas apa tanda bukti kepemilikan bagi si pemilik uang? Mudah sekali. Cetak saja sertifikat atau tanda bukti kepemilikan di atas kertas mahal serta tinta emas dengan stempel yang seolah-olah berkelas internasional. Para pemilik uang terkecoh dan percaya begitu saja.

Selanjutnya, bagaimana si pemilik uang mendapatkan imbal hasil yang besarannya 5-10 persen dari nilai investasinya? Juga sangat mudah. Lihat kisah di atas. Para pemilik dana tahap pertama akan mendapatkan imbal hasil dengan menggunakan uang masuk dari pemilik uang tahap pertama.

Seperti contoh di atas, pengelola investasi di awal telah mendapatkan Rp 10 miliar. Lalu pada tahap kedua juga mendapatkan Rp 10 miliar. Kalau perlu dana untuk membayar janji return 5 persen tinggal ambil dari Rp 20 miliar yang telah dimiliki, yakni hanya sekitar Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar. Bayangkan, jika dana yang telah dikelola mencapai Rp 1 triliun, mengeluarkan Rp 10 miliar sampai Rp 100 miliar bukan soal sulit.

Yang menjadi masalah adalah jika pada tahap tertentu, pengelola sudah mulai sulit mencari investor baru. Berarti modal yang tersedia akan semakin berkurang untuk dipakai membayar return kepada para investor yang sudah terdaftar.

Berikutnya, pembayaran mulai batuk-batuk dan tiba-tiba pengelola investasi sudah raib bersama sisa dana investor yang masih dipegangnya. Investasi tersebut kemudian menjadi bermasalah alias bodong. Selanjutnya baru mengemuka ke publik setelah investor merasa marah sebab investasinya tidak kembali lagi.

(Elvyn G. Masassya, praktisi keuangan)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com