Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/11/2013, 13:42 WIB

Kompas.com - Temaram, sejuk, nyaman, seni, indah, visual, sarat informasi, dan kepuasan teknologi. Ini menjadi sederet kesan pertama memasuki desain kepompong Museum Kain milik perancang dan pembuat batik Josephine W Komara atau Obin, di Paviliun Alang-alang Lantai 3, Beachwalk, Kuta, Kabupaten Badung, Bali.

Rabu (20/11) siang, Obin meresmikan museum itu di antara keluarga, kerabat, dan sahabat. Baginya museum ini istimewa. Entah kebetulan, entah sengaja berada di mal yang menggambarkan citra manusia urban. Intinya, Obin tidak menginginkan adanya sekat di antara sejarah dan modernisasi. Kain adalah kain sepanjang masa, di zaman apa pun.

Museum ini berusaha menampilkan selengkap mungkin informasi mengenai kain, khususnya batik. Mulai menginjak anak tangga, pengunjung sudah disambut dengan lukisan kain batik, seperti selendang yang melekat di tangga itu. Selanjutnya, pintu masuk bernuansa kayu-kayu menyambut bersamaan dengan temaram dan kesejukan yang menyeruak.

Beberapa lembar kain sutra putih dengan motif berbeda seperti kawung, parang kusuma, seakan mewakili ucapan selamat datang. Teknologi laser memberi aksen warna-warni bergambar selembar kain yang seakan melambai-lambai. Ada beberapa tabung besi perak. Ada beberapa titik lubang di tabung itu dan coba tempelkan telinga ke tabung. Terdengar suara orang membacakan proses pembuatan kain. Saat ini masih berbahasa Inggris.

Foto-foto berpigura terpajang rapi di salah satu dinding mengawali perjalanan museum. Penggambaran bagaimana peran kain menjadi identitas manusia dari tahun ke tahun dan dari masa ke masa.

Koleksi

Semua kain terpajang rapi dengan pencahayaan yang indah agar warna-warna dan gambar pada batik tampak jelas. Setiap beberapa kain memiliki keterangan. Lagi-lagi, pengunjung bisa memperolehnya hanya dengan klik pada layar sentuh yang tersedia di sejumlah meja.

Pengunjung bisa mendapati nama kain yang terpajang, misalnya Tiga Negeri dari Semarang, Jawa Tengah. Kain ini menonjolkan tiga warga, merah, biru, dan coklat. Ini penggambaran penyatuan tiga daerah berbeda. Informasinya lengkap mulai dari ukuran kain hingga metode pembuatannya.

Layar tersebut akan memberikan cerita bagaimana dan dari mana Obin mendapatkan kain. Isi museum ini merupakan koleksi Obin dari pembuatan kain, itu sekitar tahun 1900-an. Koleksi Obin tercatat sekitar 600 lembar kain tua dan buatannya sendiri. Hanya saja, museum itu hanya memuat sekitar 70 lembar kain. Rencananya, setiap enam bulan sekali pemajangan kain tersebut diganti.

Seluruh kain yang terpajang bebas dinikmati pengunjung, tanpa kaca atau rantai pembatas. ”Ini memang konsep menembus batas karena semuanya tidak perlu ada sekat. Mereka bisa melihat dan mengenal lebih dekat apa itu selembar kain,” ujar Obin.

Nuansa kenyamanan juga diwarnai dengan pemajangan sejumlah alat-alat membatik seperti canting-canting dan bahan-bahan pewarna alami. Bahkan, pengunjung bisa mendapatkan visual beragam cara memakai kain mulai klasik sampai modifikasi. Sentuh layarnya, pilih menunya, dan simak caranya. Praktis.

Harapannya, manusia memahami bagaimana kain bermakna dan bermanfaat bagi seluruh kehidupan. Menurut Obin, sejarah merupakan bagian yang perlu diketahui dan kain itu mengalir mengikuti perjalanan dari zaman ke zaman tak akan mati.

Pembuatan museum ini merupakan impian almarhum suaminya, Ronny Siswandi. Ia bersama putranya, Erlangga Komara, segera mewujudkannya dalam waktu satu tahun ini. Salah satu kain yang terpajang menceritakan pernah dipakai Obin ketika mengandung Erlangga di usia kandungan empat bulan.

Yusman Siswandi, arsitek museum tersebut mengatakan, pengunjung dimanjakan dengan segala teknologi. Layar sentuh, pengaturan suhu otomatis yang terjaga sekitar 22 derajat, pencahayaan yang berusaha tak mengubah warna asli kain, dan tentu saja, memaksimalkan penggunaan ramah lingkungan.

Minimnya pencahayaan, lanjut Yusman, merupakan bagian dari skenario kepuasan mata para pengunjungnya menikmati kain-kain tersebut. Selain itu, ia juga perlu merawat kain ini agar tak rusak selama dipajang puluhan tahun.

Kepompong adalah konsep inspirasi Obin. Karenanya, museum ini berbentuk kepompong. Mengapa kepompong? Karena kepompong tidak mengubah apa-apa dari dirinya mulai berupa ulat hingga menjadi kupu-kupu.

”Kupu-kupu itu bermetamorfosis. Badannya tak berubah, tetapi ia menambah sayap yang indah. Begitu juga kain dan manusia. Proses dan gambarnya bisa saja tak berubah. Tetapi, kami bisa membuatnya menjadi apa saja dengan keindahan. Intinya, bagaimana kain ini bisa bermanfaat bagi manusia,” kata Obin. (Ayu SUlistyowati)


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com