Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ternyata, di Luar Sana Masih Ada Orang Berhati Baik

Kompas.com - 20/12/2013, 12:49 WIB
Syafrina Syaaf

Penulis

KOMPAS.com — Bila melihat pemberitaan dan cerita dari rekan kerja atau keluarga mengenai kriminalitas yang semakin marak terjadi, otomatis kita jadi ekstra waspada terhadap orang asing, bahkan sebisa mungkin tidak melakukan kontak dalam bentuk apa pun dengan mereka yang tidak kita kenal dengan baik.

Melihat situasi ini, pernahkah terbersit satu pertanyaan dalam benak Anda, masih adakah orang-orang yang baik dan tulus di luar sana? Benarkah dunia ini sudah begitu menyeramkannya hingga tak ada lagi jiwa-jiwa yang ringan tangan, menolong tanpa pamrih? Mungkin sebagian dari Anda dalam hati sekarang sedang bergumam “tidak ada”.

Tunggu dulu... Mungkin setelah menyimak kisah mengenai pengalaman tiga perempuan Jakarta berikut ini, yang mengaku pernah menikmati kebahagiaan yang datang dari budi baik seseorang yang sama sekali tidak mereka kenal sebelumnya, bisa memberikan sedikit rasa lega dalam hati Anda dan semoga bisa menginspirasi kita semua untuk melakukan hal yang serupa kepada sesama.

Penyejuk di hari paling buruk

“Tahun lalu, saya dipanggil oleh bagian SDM kantor, alih-alih mendapatkan kabar baik ternyata mereka menyampaikan bahwa kontrak kerja saya tidak diperpanjang, alasannya perusahaan sedang merampingkan 'budget'. Seperti petir di siang bolong, tubuh saya lemas seketika, langsung terbayang tagihan-tagihan bulanan yang tidak bisa menunggu hanya karena saya menganggur. Tiba waktu pulang kantor, saya langsung melesat karena kesal melihat semua orang di sana. Di dalam 'busway' menuju rumah yang berlokasi di daerah Bendungan Hilir, tanpa saya sadari air mata pun menetes. Karena tak ingin menjadi pusat perhatian, saya segera menyeka setiap linangan yang berhasil mengalir melintasi pipi. Tiba-tiba, seorang ibu yang duduk di sebelah saya meletakkan telapak tangannya di atas tangan saya. Mungkin jika dalam situasi normal, bisa saja saya empas tangannya, tapi entah kenapa saat itu saya membutuhkan pegangan ringannya tersebut. Setibanya di halte rumah, sebelum turun dari 'busway' saya ucapkan terima kasih kepada ibu itu dengan pelan. Mungkin ini terasa aneh, tapi entah kenapa saat berjalan kaki menuju rumah, hati yang tadi sesak berangsur lega dan saya merasa lebih baik.” – Lulu, 31 tahun, Account Manager  

Doa dari sopir taksi yang menolak dibayar

“Setelah Lebaran kemarin, saya mengalami momen paling menyedihkan seumur hidup. Selesai makan malam dengan tunangan, tanpa berdosa dia mengatakan bahwa pertunangan kami tak bisa dilanjutkan, alasannya perasaannya tak lagi sama kepada saya. Entahlah bagaimana panasnya hati saya saat itu. Karena kehabisan kata-kata akhirnya saya tampar mantan tunangan saya itu, kemudian karena harga diri saya menolak diantarkan pulang olehnya, jadilah saya tersenguk menangis di dalam taksi. Sopir taksi yang identik dengan lambang burung biru tersebut sampai berulang kali menyodorkan kotak tisu kepada saya. Setibanya di kawasan apartmen, celakanya sewaktu mau membayar taksi, ternyata baru saya sadar kalau dompet tertinggal di mobil mantan. Saya merasa malu dan tidak enak kepada si sopir yang saya yakin selama menyetir tadi kebingungan dengan saya yang menangis sepanjang jalan. Saya minta dia menunggu saya di lobi sembari saya ke atas untuk ambil uang. Ternyata si sopir malah menjawab, “Enggak apa-apa Neng, istri saya sudah nungguin di rumah, Neng naik aja ke atas, istirahat, saya cuma pesen aja tidak usah dipikirkan orang yang jahat sama Neng. Jangan khawatir, pasti bakal dapet yang lebih baik.”

Mendengar kalimat si sopir taksi, saya malah semakin ingin menangis, bukan lagi karena hati saya yang hancur melainkan saya tersentuh dengan betapa tulusnya bapak sopir ini, sudah saya tidak bayar argo, tapi masih didoakan yang baik-baik olehnya.” Sheilla, 25 tahun, Legal Secretary. 

Pujian berbahasa asing yang membesarkan hati

“Akhir tahun 2012 lalu, saya dan suami sedang dalam perjalanan merayakan tahun baru di Bali. Saya sangat menanti momen liburan tersebut karena ini kali pertama putri kami jalan-jalan dan naik pesawat. Nah, yang tidak saya perhitungkan adalah karena perdana naik pesawat, ternyata putri kami tidak betah dan terus menangis. Saya dan suami susah payah membuatnya diam, mulai dari bergantian menggendong sampai memainkan film kartun di layar kursi, tetap nihil tak ada yang berhasil. Bayangkan saja nih, jarak tempuh Jakarta – Bali memakan waktu lebih kurang 1 jam-an yah, mungkin putri saya hanya diam sekitar 15 menit saja, selebihnya menangis. Saya sampai tidak enak hati dan luar biasa malu dengan penumpang lainnya, saya sampai memilih untuk menahan pipis hanya karena takut melihat tatapan kesal orang-orang. Akhirnya sesampainya di Bali, saya dan suami memilih untuk turun belakangan, lagi-lagi karena malu dengan perilaku si kecil. Ketika akan bersiap mengambil tas di kabin, tiba-tiba pasangan suami istri warga negara asing menepuk pundak saya dengan pelan sembari mengucapkan “You are a good mother, we thought you handled that very well.”

Saya terkesima dengan pujiannya, padahal jelas-jelas putri kecil saya membuat waktu penerbangan penumpang lainnya sangat terganggu. Saya yakin mereka mengucapkannya untuk membesarkan hati saya sebagai seorang ibu, apa pun alasannya, ucapan mereka telah membuat liburan kami terasa lebih menyenangkan.” Meita, 33 tahun, Dokter Gigi. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com