Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/12/2013, 13:14 WIB
Christina Andhika Setyanti

Penulis


KOMPAS.com -
Stigma dan cap yang melekat pada ibu tiri di mata anak-anak dan juga masyarakat umumnya selalu negatif. Ibu tiri selalu diposisikan sebagai tokoh antagonis dalam keluarga. Seringkali naluri keibuan dan kasih sayang tulus mereka dipandang sebelah mata atau bahkan menjadi masalah bagi sang ibu kandung karena takut anak-anaknya jadi lebih sayang kepada ibu tirinya.

Pengalaman ini dialami oleh Seruni (bukan nama sebenarnya), seorang ibu rumah tangga yang memiliki dua anak tiri dan satu anak kandung. Kepada Kompas Female, Seruni berbagi kisahnya.

"Awal berkenalan dengan mas Prima (suami) dimulai saat kami bekerja di kantor yang sama. Kami tak saling mengenal sebelumnya, tapi salah satu kawan yang juga tetanggaku rupanya menjodohkan kami. Kawan ini berani menjodohkan kami karena ia sudah tahu kalau mas Prima sedang mengajukan gugatan cerainya.

Singkat cerita, kami pun semakin dekat.  Akhirnya aku memutuskan untuk menerima pinangannya sekalipun kami berbeda 17 tahun. Saat itu aku pun sadar bahwa mau tak mau aku akan menjadi ibu tiri bagi kedua anaknya. Aku selalu tanamkan di ingatan, aku mencintai ayahnya, maka aku pun harus mencintai anak-anaknya. Aku suka sama anak-anak, dan aku yakin kalau aku bisa meluluhkan hati anak-anak meski itu butuh proses.

Perkenalan pertama dengan anak-anaknya dimulai dengan hangat. Anak keduanya, Ari sangat hangat dan banyak bercerita. Sedangkan anak pertamanya, Farah lebih banyak diam. Namun dia tidak menunjukkan ketidaksukaannya padaku. Namun anak-anak seringkali dipengaruhi oleh Fani, ibu kandung mereka. Fani membuat cerita karangan agar anak-anak benci papanya dan aku. Ari tak terpengaruh, namun Farah sedikit terpengaruh.

Aku tidak merasa kehadiran ku ditolak sama anak-anak. Alhamdulillah Farah bisa menjaga sikapnya, meski mungkin di depan mamanya dia juga menghormati mamanya untuk tidak menunjukan kesukaannya padaku karena takut membuat mamanya marah besar. Sejauh ini penolakan bukan berasal dari anak-anak tapi dari ibu kandungnya. Mungkin karena takut anak-anak lebih nurut kepadaku dibanding dirinya.

Akhirnya di tahun 2011 lalu, hak asuh yang sebelumnya diberikan kepada Fani akhirnya pindah ke tangan kami. Fani ternyata terlibat banyak masalah di komplek rumahnya,masalah utang dan dikejar debt collector. Farah menangis ketakutan dan memintaku untuk menjemputnya.

Meski sudah tinggal serumah, aku tidak pernah memaksa anak2 untuk memanggil ku dengan sebutan bunda. Ari sudah mau, dan sempat manggil aku bunda. Tapi begitu mama kandungnya mendengar, ia langsung marah kepada suamiku. "Ibu anak-anak cuma aku," begitu katanya.

Semua ini berubah, ketika suatu Farah menghilangkan kamera ayahnya. Ia bercerita kepadaku dan berharap agar aku bisa membujuk ayahnya agar tak marah. Saat itu aku hanya bilang sama mas Prima bahwa kemarahannya pada Farah hanya akan membuat usaha dan komunikasi yang sudah susah payah dibangun dengan anak-anak jadi sia-sia.

Dengan bijak, mas Prima mengajak Farah dan Ari untuk bicara dari hati ke hati. Ia mengatakan bahwa ini sudah saatnya mereka harus memanggilku bunda dan bukan tante. "Tante Seruni bukanlah pengganti mama, tapi hanya bunda lain yang kakak punya." katanya. Dan sejak saat itu, mereka yang awalnya takut  memanggilku bunda,  memutuskan untuk memanggilku bunda. Butuh lima tahun untuk membuat mereka memanggilku bunda.

Aku selalu tanamkan kepada mereka, aku istri ayahnya yang sekarang, ibu di rumah ini, namun aku bukan pengganti posisi mama. Mereka hanya memiliki satu ibu kandung dan satu ibu bonus, yaitu aku.

Aku sangat terharu dan bahagia memiliki mereka. Yang membuatku sangat bangga adalah saat Ari menuliskan namaku sebagai ibunya di formulir sekolahan. Dan ketika ditanya aku ini siapa, dia selalu bilang kalau aku mamanya. Saat aku akan melahirkan Fera (anak kandungku), Farah sangat ingin menemaniku di ruang operasi, namun dilarang mamanya. Meski saat itu mama mereka masih bersikap kurang baik kepadaku, namun suamiku selalu yakin bahwa aku bisa melewati ini semua dengan baik dan juga bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anak. Ia sangat mendukungku menghadapi semua masalah ini.

Sekarang, hubunganku dan Fani kini semakin baik. Kami justru intens berkomunikasi untuk membicarakan anak-anak. Bahkan kami juga pernah berlibur bersama. Sangat bangga punya dua orang anak bonus yang pintar, dan sangat menyayangi adiknya.

Untuk semua ibu tiri di dunia ini, sabar dan berbesar hati. Buktikan ibu tiri jahat hanya ada di dongeng. Semua ibu sama pada dasarnya, sama-sama mengurus anak dan ingin memberi yg terbaik buat anak dan ingin anak menjadi yg terbaik. Cuma bedanya ibu tiri tidak melahirkan, tapi ibu tiri bisa ikut serta membesarkan dan merawat anak tirinya. Cintai anak tirimu seperti kau mencintai ayah mereka. Insya Allah semua akan indah pada waktunya. Aku bukan ibu tiri yang jahat, tapi aku ibu yang tegas ke semua anakku,"


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com