Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melanie Subono: Beri Papua Harapan dengan Meningkatkan Mutu Pendidikan

Kompas.com - 17/04/2015, 14:13 WIB
Magdalena Windiana Siahaan

Penulis

KOMPAS.com - Keindahan alam Sentani, Papua, memang tak perlu diragukan. Setidaknya itulah yang menjadi perhatian seorang aktivis muda, Melanie Subono.

Berawal dari melihat tayangan amal Oprah Winfrey yang sedang menggalang program "Make A Wish", Melanie tergerak membuat gerakan serupa. Ia mendirikan Rumah Harapan, sebuah wadah kegiatan sosial untuk mewujudkan keinginan dan memberikan harapan, mulai dari mengabulkan keinginan seorang pasien kritis hingga membantu pendidikan untuk masyarakat di daerah terpencil salah satunya; Papua.

Melanie mengatakan bahwa sumber daya alam Papua sangat melimpah. Perempuan yang juga berprofesi sebagai musisi itu melihat Papua sebagai daerah sangat indah dan kaya, namun masih seperti daerah terlupakan. Anak- anak Papua, yang seharusnya menikmati masa kecil begitu indah, harus bersusah payah, bahkan demi mendapatkan fasilitas pendidikan layak.

"Kalau spesifik Papua cukup baik, tergantung dari segi apa. Secara keseharian, mereka gembira dan senang. Secara standar kehidupan pendidikan, membaik sejak dulu, tapi sangat kurang dibanding tempat lain. Jangan dibayangkan keindahan Danau Sentani yang kita kenal saja, tapi ini Sentani ujung lain, setelah kita menyeberangi danau itu," ujarnya.

Ihwal alasan Sentani menjadi pusat perhatiannya, Melanie tidak memungkiri rasa miris di nuraninya tak terelakkan lagi. Bagaimana pun juga, lanjut dia, Papua merupakan daerah terkaya di Indonesia, tapi sekaligus menjadi daerah termiskin.

"Masyarakatnya hidup dikelilingi air di kanan kiri. Terindah, tapi terlupakan. Padahal sumber daya alam yang dimilikinya paling besar. Di Sentani ada sekitar lebih dari 50 desa, di pedalaman, dari total manusia yang ada di sana, termasuk dewasanya yang bisa membaca itu dibawah 10 orang. How's that?" ucap Melanie.

Menurut wanita yang aktif di berbagai isu sosial, seperti gender, HAM, hak pekerja, fauna dan lingkungan hidup ini seharusnya pelajaran membaca berlaku untuk segala umur dan dilakukan di mana saja. Rumah Harapan turut memberikan pengajaran kepada anak-anak lewat tenaga-tenaga generasi muda yang membaktikan dirinya di Sentani.

Lokasinya mengajar biasanya di atas perahu yang biasa disebut Khakay, terutama jika tidak hujan. Mengingat lokasinya cukup jauh, para pengajar harus berjalan kaki beberapa kilo untuk mencapainya.

Bagi Melanie, melihat senyum anak-anak Sentani seolah memberi harapan dan suatu momen yang tidak terbayarkan harganya. Kondisi di bawah standar itu membuat anak-anak tersebut merindukan fasilitas yang layak.

"Saat mereka happy melihat yang namanya sikat gigi dan tidak tahu itu untuk apa, saat mereka harus jalan kaki beberapa jam untuk sedikit belajar, dan saat kita cuma bisa mengajar di atas perahu yang rapuh," jelasnya.

Bangun harapan

Selain menjadi musisi dan aktivis, Melanie juga hobi menulis dan menjadi penyiar. Ia melakukan advokasi, menyebarkan petisi dan menyuarakan tuntutan baik di media sosial maupun di jalanan, mulai dari menggunakan kendaraan pribadi, berjalan kaki, hingga transportasi umum seperti taksi. Ia pun secara konsisten menginspirasi publik dengan pesan motivasi dan isu sosial.

Berkat aksi sosialnya itu, perempuan kelahiran Hamburg, Jerman, 20 Oktober 1976 silam tersebut juga pernah dinobatkan oleh Twitter sebagai 10 besar orang paling berpengaruh. Pada 2011, dukungan para fans dan jejaringnya disalurkan dalam wadah kegiatan sosial Rumah Harapan.

Melanie menjelaskan bahwa keterbatasan pengajar serta fasilitas menjadi salah satu kendala paling utama saat ini. Bantuan dana untuk menyediakan fasilitas belajar mengajar diharapkan bisa menjadi harapan untuk menanggulangi permasalah di sekolah-sekolah perahu di Sentani, yang hampir sebagian besar anak-anaknya tidak bisa membaca dan menulis.

"Menurut saya, yang paling dibutuhkan di sana adalah alat peraga. Alat peraga sekarang sudah jauh lebih canggih dan menyenangkan dibanding saat saya sekolah dulu. Alat peraga seperti papan tulis, balok, kapur tulis, globe dan anatomi itu membuat pelajaran lebih menyenangkan dan lebih mudah diserap dan tidak membosankan. Tapi, alat peraga seperti itu masih sangat kurang dan mahal," kata putri sulung Adri Subono itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com