Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perjuangan “Kartini-kartini” Masa Kini, di antara Cibir dan Stigma…

Kompas.com - 23/04/2015, 10:20 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

KOMPAS.com - Hari Kartini yang diperingati tiap 21 April terwujud sebagai peringatan dan penghormatan atas perjuangan kaum perempuan, simbol kesetaraan gender, serta emansipasi wanita. Kini, perjuangan RA Kartini kini berbuah manis. Segala keterbatasan yang mengungkung hak-hak wanita berhasil dihilangkan.

Namun, setelah ratusan tahun peringatan itu dilakukan, bukan berarti pekerjaan rumah mengenai perlindungan dan hak-hak wanita selesai diperjuangkan. Memang, tak seperti dulu, ketika Kartini harus bergerilya memperjuangkan hak-hak wanita agar mendapatkan pendidikan layak. Kini, "Kartini-kartini" itu kadung tumbuh dengan mudahnya akses pendidikan.

Kaum wanita, para "Kartini masa kini" itu, menghadapi tantangan berbeda. Salah satunya harus bergumul dengan stigma-stigma masyarakat yang belakangan cukup memojokkan.

Ya, ketika wanita diberi hak setara dengan pria, berpendidikan tinggi dan bekerja untuk mendukung finansial keluarga, masalah selanjutnya adalah stigma negatif dari masyarakat. Menjadi wanita karir yang sukses sekaligus ibu dalam rumah tangga misalnya. Hanya lantaran itu, wanita kerap mengundang anggapan “miring” masyarakat.

Kebanyakan masyarakat berpikir, menjadi wanita karir sukses atau ibu rumah tangga yang bahagia adalah sebuah pilihan. Sejatinya, jika kebetulan berada dalam posisi tersebut, sewajarnya ada yang harus dikorbankan. Padahal, masih banyak wanita karir sukses, namun berhasil pula menangani tugas rumah tangganya selama masih mampu merancang manajemen waktu.

www.shutterstock.com Memegang status sebagai single parent atau orang tua tunggal bisa menjadi “mimpi buruk” bagi banyak wanita. Tugas memelihara, mengasuh, mengajar dan membentuk anak menjadi pribadi yang baik seorang diri merupakan beban tanggung jawab yang tidak terbayangkan.

Single parent

Memegang status sebagai single parent atau orang tua tunggal bisa menjadi “mimpi buruk” bagi banyak wanita. Tugas memelihara, mengasuh, mengajar dan membentuk anak menjadi pribadi yang baik seorang diri merupakan beban tanggung jawab yang tidak terbayangkan.

Tak hanya itu. Bila anak tidak bisa menerima kondisi yang harus diurusi oleh orang tua tunggal, sang ibu harus berperan ganda.

Sayangnya, tantangan tak hanya berasal dari anak. Ibu sebagai orang tua tunggal harus pula berurusan dengan stigma yang tumbuh di masyarakat.

Di Indonesia, menjadi orang tua tunggal dianggap sebagai akibat gagalnya berumah tangga. Cibiran atau penghakiman masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi wanita sebagai orang tua tunggal.

Untuk meluruskan persepsi buruk masyarakat, mereka harus membuktikan diri bahwa mereka bisa menjadi pribadi lebih kuat dalam banyak hal. Semua dikerjakan sendiri, mulai pemenuhan kebutuhan anak dan dirinya sendiri, menangani lebih banyak kewajiban dan kemungkinan hanya bisa menikmati sedikit haknya. 

Lajang di Usia Matang

Memang, meski menikah adalah hak dan pilihan, masih banyak stigma berkembang bahwa wanita yang belum menikah dengan usia matang adalah aib. Lingkungan sosial kadung memandang hal ini dikarenakan wanita tersebut terlalu selektif, kurang bersosialisasi atau kurang menarik.

Hal tersebut kerap menjadi momok tersendiri bagi wanita. Wanita yang memasuki usia di atas 27 mulai khawatir, ragu dan mengalami ketakutan akan keharusan untuk menikah. Ada yang harus diluruskan dari pandangan tersebut.

Membangun rumah tangga bisa jadi merupakan target atau impian. Tapi, yang harus diingat, tak semua orang memiliki target pencapaian hidup yang sama. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com