Kebijakan tersebut memungkinkan proses perceraian dilakukan hanya dalam waktu satu hari atau maksimal 48 jam atau dua hari. Kebijakan untuk memangkas waktu perceraian ini dinilai cukup drastis, sebab sebelumnya butuh waktu 33 minggu atau sekitar delapan bulan untuk mengurus proses perceraian.
Di bawah sistem baru ini, pusat perceraian regional akan menangani proses perceraian yang tidak ditentang mulai bulan depan. Akan tetapi, pasangan suami istri yang mengajukan permohonan cerai harus memenuhi setidaknya satu kriteria perceraian, seperti perselingkuhan, perilaku yang tidak dapat diterima alasannya, desersi, dan telah berpisah setidaknya dua tahun atau lebih.
Dalam sistem kepengurusan perceraian yang baru ini, pasangan suami istri tidak perlu mengajukan dokumen tertulis kepada sistem pengadilan. Sebaliknya, pasangan suami istri hanya diminta mengajukan perceraian pada satu dari 11 lokasi dimana pakar pengurus perceraian junior atau junior divorce specialist akan memeriksa rincian dan mengabulkan permohonan perceraian dalam waktu singkat.
Kebijakan baru ini tentu saja mengundang pro dan kontra. Ada pihak yang menyatakan bahwa kebijakan perceraian yang dapat diurus kilat ini akan menciptakan erosi pada institusi pernikahan. Namun demikian, ada pula pihak yang menyatakan bahwa dengan diterbitkannya kebijakan baru ini, maka proses perceraian akan semakin mudah, tidak berbelit-belit, dan tidak berlarut-larut.
Meskipun begitu, sebenarnya perceraian adalah jalan akhir apabila permasalahan antara suami dan istri sudah tidak dapat dipecahkan lagi. Sebaiknya, jangan jadikan perceraian sebagai satu-satunya cara penyelesaian masalah. Sebab, perceraian tidak hanya akan berdampak kepada suami maupun istri, namun juga buah hati.