Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sang Kartini Modern Hadirkan Cahaya untuk Anak-anak Suku Baduy

Kompas.com - 21/04/2016, 07:00 WIB
Silvita Agmasari

Penulis

KOMPAS.com -- Habis gelap terbitlah terang, ucapan populer dari RA Kartini, saat menggambarkan pentingnya keseteraan pendidikan untuk kaum wanita.

Layaknya, perjuangan RA Kartini yang berjuang untuk wanita mendapatkan pendidikan setara dengan pria.Seorang wanita berprofesi sebagai fotografer, Nury Sybli, tidak lelah hingga sekarang masih memperjuangkan pendidikan agar anak Indonesia dapat mengecap pendidikan, terutama anak-anak Suku Baduy. 

Selama ini, Suku Baduy memang tak diperbolehkan untuk menuntut ilmu secara formal. Hal tersebut ditetapkan oleh peraturan adat mereka dan ada sanksi bagi yang melanggar.

Namun, peradaban pun menyisakan perubahan di kehidupan Suku Baduy. Transaksi dagang berubah, dari barter menjadi jual beli dengan alat tukar uang, makanan yang dikonsumsi bertambah, cara berbusana bertransformasi, dan tentunya semakin banyak turis yang membawa pengaruh luar ke Suku Baduy.

Kunjungan Nury sepuluh tahun silam mengubah pola pandangnya terhadap Suku Baduy.

"Saya mengamati betul perilaku anak-anak di sana yang kental dengan sikap rendah hati tapi tidak mengerti sopan santun atau toto kromo (kata orang Jawa). Salaman atau berjabat tangan saja asing bagi mereka. Apalagi bicara berbahasa Indonesia dengan pengunjung, sangat takut. Nah, dari situ, saya tergelitik untuk mulai mengajari anak-anak Baduy Luar," urai Nury.

Murid pertamanya adalah Mulyono, putra pertama Kang Sarpin, Suku Baduy Luar yang sadar akan betapa pentingnya kemampuan baca tulis dan menghitung bagi sukunya.

Nury dan Kang Sarpin mulai memberanikan diri membuka Kelas Baca Baduy dengan fasilitas yang sangat minim.

IST Suasana Kelas Baca Suku Baduy

"Kelas Baca Baduy hanya bisa dilakukan pada malam hari usai anak-anak membantu orang tua di ladang atau aktivitas menenun bagi anak gadis. Malam di Baduy gelap gulita karena tidak ada listrik. Bermodal lilin, lampu templok dan headlamp, bahkan meja dari baki-baki dapur," paparnya.

Nury masih ingat betul betapa gembira anak-anak Suku Baduy saat mendapat pulpen dan sikat gigi darinya. Nury mengatakan, saking gembiranya ada anak yang gemetar tangannya saat menulis dengan pulpen.

Kesibukan Nury sebagai seorang fotografer membuat Kelas Baca Baduy tak berjalan rutin.

"Kadang satu bulan sekali, dan tiba-tiba tiga bulan kemudian baru datang lagi, tapi semangat anak-anak tidak pupus. Setiap saya datang anak-anak menyambut riang dan mandi dengan bersih," jelasnya.

Tahun 2011, anak-anak gadis Suku Baduy mulai memberanikan diri untuk ikut belajar. Mereka datang dengan kain sarung dan kebaya, anak-anak gadis dari rentang usia 8-15 tahun bergitu bersemangat menuntut ilmu.

Pada tahun Tahun 2011 itu, kata Nury, semua anak-anak Kelas Baca Baduy, lancar membaca.

Namun, perjalanan Nury dan Kang Sarpin memberi pendidikan bagi anak Baduy sempat berhenti di tahun 2012. Sebab, kelas Baca Baduy dibubarkan oleh adat.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com