Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Margareta Astaman
Eksportir buah

Editor dan konsultan untuk media dan konten digital. Aktif ngeblog di margarita.web.id, celotehannya sudah berbuah 6 buku. Kini menggeluti ekspor buah tropis Indonesia. Pernah divonis santet. Yang nggak sependapat tolong komunikasi dulu sebelum mengambil tindakan lebih lanjut.

"AADC2 Civil War": Mengapa Cinta Pilih Rangga Bukan Trian?

Kompas.com - 23/05/2016, 14:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnu Nugroho

Dan rencana reuni sekelompok perempuan alumni sebuah SMU berubah menjadi semacam Civil War usai menonton film Ada Apa Dengan Cinta 2. Grup terbagi menjadi Tim Rangga, si pacar lama Cinta dan Tim Trian, si tunangan baru.

Saya jelas termasuk tim Trian. Gile aje loe. Apa sih salah Trian? Ganteng, berwibawa, mapan sejak lahir, baik hati, bijaksana… Begitu fanatiknya dengan Tim Trian hingga di akhir film saya sibuk membagikan link ‘Surat Balasan Trian’.

Hingga salah satu target kampanye Tim Trian tiba-tiba balik bertanya. “Bagaimana jika dalam kehidupan nyata, Cinta itu lelaki, Rangga dan Trian itu perempuan, dan KAMU adalah Rangga?”

Demi melengkapi penghayatan, saya diberi brief: Cinta dan Trian, sama-sama dari keluarga berada dan sudah saling kenal. Tapi tiba-tiba datang saya, perempuan yang biasa aja, tapi kelihatan keren foto-foto dan jadi jurnalis lalu banting setir mengurus start-up buah-buahan.

Gara-gara pergi travelling bersama, Cinta jadi ragu apakah sebaiknya ia membatalkan pernikahannya untuk satu kesempatan bersama saya.

“Jadi kamu pilih Cinta jadi sama siapa?” tanyanya.

Saya gelagapan seperti habis tersedak biji manggis. “Yaa, kalau kayak gitu ceritanya, Rangga lah, saya maunya jadi yang dipilih dong,” saya menjawab sambil cengengesan.

“Kamu memilih seperti itu, demi kamu, demi lelaki ini, demi keluarganya, atau demi masyarakat banyak?”

Biji manggis kedua yang saya telan malam itu. For the glorious purpose of preserving my gene to the next generation, saya membatin menjawab pertanyaan tersebut.

Saya teringat satu episode "Brain Games" dari National Geographic tentang bagaimana orang memilih lewat salah satu percobaan Trolley Effect. Dalam percobaan tersebut, beberapa orang diminta membayangkan jika mereka menjadi orang yang dapat menghentikan kereta yang sedang meluncur ke arah empat orang di tengah rel.

Apakah mereka memilih membiarkan kereta berjalan menghajar empat orang pekerja di hadapan, atau pindah jalur dan menghajar satu orang pekerja yang tidak berdosa?

Pada percobaan pertama, setiap orang menjawab pindah jalur. Secara moral, menyelamatkan empat orang lebih baik daripada satu.

Namun jawaban langsung berbeda ketika diinfokan bahwa satu orang ini adalah seorang yang dekat dengan kita, seorang kekasih, orang tua, atau anak. Setiap peserta percobaan langsung tergoda untuk memilih terus menghajar empat orang.

Insting dasar

Host lalu memberi hipotesa bahwa pilihan kita tanpa sadar, digerakkan oleh satu insting dasar untuk mempertahankan diri, meneruskan gen dan kehidupan kita ke kehidupan selanjutnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com