Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Adik-Kakak Berantem, Dipisah Atau Dibiarkan?

Kompas.com - 30/09/2009, 09:25 WIB

KOMPAS.com - Ada beberapa aturan tentang anak-anak yang nampaknya sudah sangat jelas, dan pasti setiap orangtua melakukannya, seperti; beri pujian kepada anak atau ajarkan adik-kakak agar tidak bertengkar. Memang, sepertinya ajaran ini benar. Tetapi ternyata, pengajaran ini justru memiliki “bahaya” tersembunyi bagi perkembangan anak.

Dalam bukunya, NurtureShock: New Thinking About Children, jurnalis Po Bronson dan Ashley Merryman mencari tahu fakta-fakta apa saja yang memotivasi anak, bagaimana orangtua bisa membantu anak agar lebih bahagia, dan lain sebagainya. Namun, ada beberapa fakta yang cenderung bertolak belakang dengan pengetahuan umum kita sebagai orangtua. Apa sajakah?

1. Adik-kakak lebih baik berisik karena bertengkar ketimbang damai tapi berpisah.
Adik-kakak pasti akan bertengkar. Bahkan adik-kakak 700 persen kali lebih sering bertengkar ketimbang dengan teman sebayanya masing-masing. Karena, mereka tahu, bahwa adik atau kakaknya akan selalu ada, tidak akan pergi. Bagi para orangtua, pemandangan ini memang akan menyakitkan untuk dilihat. Namun, ketimbang memisahkan atau menjadi wasit bagi mereka, lebih baik orangtua memilihkan permainan yang bisa dinikmati keduanya. Menurut studi, adik-kakak yang bermain bersama, meski saling mengejek, memiliki hubungan yang lebih dekat ketimbang adik-kakak yang bermain terpisah.

2. Memuji anak bahwa mereka pandai justru membuat mereka menjadi sebaliknya.
Sebagai orangtua yang berharap anaknya percaya diri, amat wajar jika memuji si anak yang berhasil melakukan sesuatu. Namun, ketika pujian ini datang bertubi-tubi dan sering, maka yang terjadi adalah kebalikannya. Ketika pujian bahwa ia adalah anak pandai terlontar dengan mudahnya, ia akan beranggapan bahwa kepandaian adalah sebuah benda. Sebuah benda yang bisa dimiliki atau tidak dimiliki dalam diri seseorang. Nah, begitu mereka menemukan sebuah persoalan sulit dan ia tak dapat menyelesaikannya, anak akan berpikir, “Oh, saya tak memiliki kepandaian”, dan ia akan berhenti. Padahal, ia seharusnya bisa berusaha. Ketimbang “mencap” seorang anak, apakah ia pandai atau tidak, lebih baik puji usahanya. Misal, “Usahamu untuk mengucapkan kata yang sulit itu baik sekali!” Dengan begini, anak akan belajar, bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengkontrol bagaimana kemampuan mereka dengan berusaha keras.

3. Anak berbohong itu... perlu.
Orangtua akan menekankan pentingnya kejujuran. Namun, jangan sedih ketika mereka mendapati anaknya yang masih kecil berani berbohong. “Ini mengartikan, bahwa secara kognitif, si kecil sudah mampu mengkontrol pikirannya. Ia sudah mampu membagi apa yang merupakan kebenaran, dan apa yang merupakan ide alternatifnya (bohong). Anda sadari atau tidak, berbohong memerlukan kontrol fokus yang lumayan tinggi,” terang Bronson. Kebiasaan berbohong umumnya akan terbentuk sekitar usia 7 tahun. Cara terbaik untuk mengatasi hal ini?

Jika sesekali ia berbohong dan ketahuan, sebaiknya urungkan niat untuk menghukumnya –hukuman hanya akan membuatnya mencari celah di mana kesalahan kebohongannya, dan akan berusaha lain waktu tidak ketahuan. Bisa dicoba dengan cara: Beritahu si kecil, bahwa Anda akan lebih bahagia atau senang, jika mereka mau memberitahu kebenarannya. Anak-anak usia ini sedang berusaha keras agar mendapatkan perhatian orangtuanya. Mereka mau berusaha keras agar orangtuanya bahagia atau senang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com