Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sambil Menyulam Menuai Untung

Kompas.com - 12/04/2010, 11:04 WIB

KOMPAS.com - Sulaman adalah istilah yang secara umum digunakan untuk menyebut cara memperindah suatu material dengan menggunakan jarum dan benang. Material yang digunakan bisa berupa kain, kulit, bulu kempa (felt), dan lainnya. Terkadang, sulaman diperkaya dengan kombinasi, seperti penambahan kerang-kerangan, manik-manik, kaca, benang metalik, atau kawat halus.

Setiap bangsa memiliki teknik menyulam tersendiri. Tusukan yang digunakan saat menyulam menjadi ciri khas dari suatu bangsa atau masyarakatnya. Di Brasil dikenal teknik menyulam brazillian shading. Teknik ini dibuat dengan cara menjelujur benang hingga menutupi permukaan kain. Warna yang digunakan bergradasi sehingga membentuk seperti bayangan.

Teknik lain yang lebih sulit adalah needle painting, yang menuntut keahlian tinggi karena penyulam harus bisa membuat dimensi dari benda yang disulam. Seperti pada lukisan di kanvas, sulaman needle painting membutuhkan banyak detail warna dengan bolak-balik mengganti benang.

Teknologi menyulam pada waktu itu menggunakan tusukan rantai (chain stitch). Tusukan ini dianggap sebagai tusukan tertua di antara 46 jenis tusukan sulaman di dunia. Sulaman berkembang hingga awal abad ke-18 sebelum kemudian menghilang karena adanya modernisasi, Revolusi Industri, Perang Dunia I dan II.

Di Nusantara, dari sekian banyak jenis sulaman tadi, hanya dikenal tiga jenis sulaman, yaitu sulam kepala samek dari Sumatera Barat, sulam terawang dari Gorontalo, dan sulam tumpar dari suku Dayak di Kalimantan.

Nilai ekonomi
Salfrida Nasution dan Komunitas Pencinta Sulam punya cita-cita menggiatkan sulam bukan sekadar sebagai pemanis, tetapi memiliki nilai seni tinggi. ”Ibarat menyanyi, semua orang bisa menyanyi. Namun, untuk menyanyi dengan bagus perlu mempelajari teknik-tekniknya. Demikian juga dengan sulam,” kata Salfrida, diplomat yang pernah menjadi konsul jenderal di Capetown, Afrika Selatan.

Kata Salfrida, selama ini orang ramai-ramai mencari sponsor untuk mendukung para penyulam tradisional di desa-desa. Sementara para penyulam tradisional memiliki pengetahuan yang kurang tentang sulam. ”Kalau mereka menguasai banyak teknik, otomatis hasil karya mereka akan bernilai lebih tinggi,” jelas Salfrida.

Ia tidak hanya mengajarkan sulam kepada anggota komunitasnya, tetapi juga kepada para perempuan yang tinggal di desa, seperti di Bali, para tenaga kerja Indonesia (TKI) di Singapura, dan beberapa kantor kementerian di Jakarta. Harapannya, sulam bisa menjadi tumpuan ekonomi bagi para perempuan.

Di negara lain, seperti Vietnam, Afrika Selatan, Korea, dan India, sulam memiliki nilai ekonomi tinggi dan bisa menghidupi senimannya. Di Afrika Selatan, harga sulaman bisa lebih dari Rp 1,5 juta untuk ukuran kain sekitar 50 x 50 sentimeter. Di Korea dan China, harganya malah lebih mahal lagi, bisa sampai Rp 2 juta untuk ukuran yang sama karena teknik pengerjaan yang sulit.

(Lusiana Indriasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com