Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Payung untuk Segala Musim

Kompas.com - 16/08/2010, 07:54 WIB

KOMPAS.com - Tidak ada yang tahu pasti kapan payung pertama kali ditemukan. Namun, benda yang satu ini telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak ribuan tahun lalu.

Payung umumnya digunakan untuk melindungi diri dari hujan ataupun sengatan matahari. Fungsi ini tak berbeda jauh dari maknanya yang dalam bahasa Inggris disebut umbrella. Umbrella berasal dari bahasa Latin, umbra, yang berarti ”terlindungi”. Payung juga memiliki sinonim lain, yaitu parasol. Hanya saja, parasol biasanya digunakan untuk melindungi diri dari sengatan matahari.

Hampir setiap negara memiliki tradisi yang terkait dengan payung. Apalagi, di Indonesia, yang penduduknya memiliki latar belakang etnis ataupun agama yang beragam. Selain untuk keperluan fungsional, payung juga banyak dikaitkan dengan beragam upacara, seperti perkawinan, kematian, panenan, ataupun upacara keagamaan.

Ada beberapa daerah di Indonesia yang dikenal sebagai pembuat kerajinan payung, di antaranya Tasikmalaya di Jawa Barat serta Desa Mengwi, Kabupaten Badung, dan Desa Kusamba, Kabupaten Klungkung, Bali.

Payung tasik memiliki ciri khas. Rangkanya terbuat dari kayu dan tudungnya terbuat dari sejenis kertas semen. Namun, yang membuatnya menjadi karya yang jelita adalah lukisan tangan yang menghiasi tudungnya, dengan motif floral. Tak heran bila payung ini dinamai ”payung geulis”.

Sayang sekali, perkembangan zaman membuat payung tasik tersisihkan. Masyarakat umum lebih memilih payung plastik yang lebih tahan lama dan pastinya harganya lebih murah. Kini, bila kita mengunjungi sentra industri kerajinan di Tasikmalaya, perajin payung tasik tradisional sudah langka, bahkan nyaris punah. Sulit mengharapkan ada regenerasi perajin ketika generasi muda di wilayah itu tidak melihat peluang yang menjanjikan di bisnis ini.

Dalam tradisi Bali, payung sering kali difungsikan sebagai artefak ritual. Menurut Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Made Titib, dalam ranah ritual Bali payung disebut sebagai tedung agung. Artefak ini, katanya, banyak sekali disebut-sebut dalam kitab Mahabharata, terutama pada seri Bharatayuda.

”Tedung agung itu selalu dimanfaatkan untuk menggambarkan keagungan atau kebesaran pasukan atau seorang raja,” kata Titib. Dalam konteks ritual di Bali, tedung agung dimaknakan sebagai menyambut kehadiran (tedun—turun) Tuhan di dunia ketika berlangsungnya sebuah upacara di pura. Biasanya, Tuhan dalam manifestasinya sebagai Brahma ditandai dengan payung merah, Wisnu payung hitam, dan Siwa payung putih. ”Semua untuk menggambarkan keagungan kehadiran Tuhan di dunia,” kata Titib.

Di luar makna ritual, artefak payung warna-warni dalam sebuah upacara menunjukkan kemeriahan dan karya seni instalasi yang luar biasa. Paduan warna dan bentuk payung turut andil menonjolkan keindahan dalam upacara.

Payung juga telah lama menjadi bagian dari gaya hidup kaum perempuan. Bahkan, di Yunani payung disebutkan oleh dramawan Aristophanes (448-380 Sebelum Masehi) sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan kaum wanita. Mungkin ini merupakan temuan paling tua mengenai tradisi penggunaan payung di Eropa.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com