Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membangun Image dengan Ketulusan

Kompas.com - 23/08/2010, 08:24 WIB

KOMPAS.com - Seorang teman yang bisa dikatakan seorang socialite, kalau diamati lebih teliti, banyak menggunakan pujian bila bertemu dengan teman-temannya. Karena pujiannya itu terlalu monoton, yaitu selalu mengatakan bahwa lawan bicaranya terlihat lebih langsing, teman kita ini langsung terlihat ketidaktulusannya.

Kita begitu banyak menyaksikan transaksi sosial yang terasa tidak diwarnai dengan hati, saling cium pipi bukan sekadar antara ibu-ibu tetapi juga  bapak-bapak, kepura-puraan beramal, spiritual, bijak, bermoral, yang sering membuat kita gundah, dan mencari-cari, siapa di lingkungan sosial kita ini yang bisa dipegang janji, kata-kata, maupun nasihat-nasihatnya. Pertanyaan juga: apakah  kesan yang kita dapat itu, disadari oleh individunya sendiri? Apakah ia sadar bahwa kata-kata ungkapannya serta ekspresinya penuh kepura-puraan?

Almarhum ayah saya selalu mengingatkan: “Orang pada dasarnya selalu berniat baik, kalau dia berbuat tidak baik di mata kita, mungkin ia tidak menyadarinya”. C.G.Jung, psikiater Swiss, juga  berpendapat: ”The hypocrisy is based on being not aware of the dark or shadow-side of their nature”.  Membentuk image, berbasa-basi, berusaha agar terlihat baik, adalah revolusi individu untuk mengembangkan, bahkan memperbaharui dan mempertahankan eksistensinya di lingkungan sosial. 

Pertanyaannya, bisakah hal ini kita lakukan dengan self-knowledge yang lebih tinggi agar supaya kadar ketulusannya juga bisa kita kembangkan? Bukankah dengan kesadaran diri yang lebih tinggi, rasa kemanusiaan yang genuine akan lebih dirasakan individu sehingga hal ini bisa mengurangi rasa keterasingan dan rasa percaya pada sesama manusia?

Tinjau kembali ketulusan
Dalam sebuah pertemuan antara direktur pemasaran dan para kepala cabangnya di sebuah perusahaan raksasa, sang direktur menceriterakan betapa ketulusan bisa mengubah keluhan menjadi pengembangan bisnis. Tentunya dalam situasi keluhan, mulut manis, senyum dan semua tata cara servis yang standar tidak selalu bisa berlaku lagi. Para pebisnis sangat paham dan bisa membedakan antara komitmen, permintaan maaf, dan janji yang dikatakan dengan tulus dan basa-basi apalagi kosong.  Kecocokan omongan dengan kenyataan di masyarakat sebenarnya  hanya memberlakukan ujian satu kali: ”Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Terkadang, tanpa perlu ujian, orang yang cukup matang sudah bisa merasakan tulus tidaknya seseorang dalam satu kali pertemuan.

Demikian pula di organisasi. Bisa saja seseorang karena pandainya, katakanlah  bermanis mulut, mendapatkan simpati dari atasannya. Tentunya arah penilaian yang obyektif terletak pada kapabilitasnya. Di sinilah ujian individu sebenarnya, untuk kembali menelaah dirinya: ”Kompetenkah saya?” Kondisi yang sering mengangkat individu karena kekuatan lobby-nya ini, sering menyebabkan individu malas berintrospeksi dan terbawa pada situasi semu yang penuh ketidakbenaran. Bahkan, ia akan berusaha keras, agar ketidakbenaran ini dipertahankan melalui manuver-manuver yang tricky. Sebenarnya individu yang mulai lepas dari self-knowledge begini, sudah kehilangan kesempatan emas untuk maju. Ia mempunyai pandangan yang semu mengenai dirinya. Ia mulai tergantung pada atribut, norma, dan manuver sosial palsu saja untuk mempertahankan posisinya.

Tanpa harus mengurangi rasa percaya diri, sebenarnya setiap individu perlu duduk dan bersandar, untuk menelaah dirinya. Apakah informasi, pengetahuan, kapabilitas, ketrampilan, serta praktik-praktik yang dilakukannya  masih sejalan dengan kaidah profesi, kejujuran, dan fairness di lingkungan sosial yang  general.

Dengan contoh bahwa ketulusan bisa menguntungkan, bahkan di bidang bisnis, maka kita memang pantas mempertimbangkan untuk memperkuatnya dari hari ke hari. Kita bisa memulainya dengan lebih mendengarkan kata hati: apakah apa yang saya ucapkan ini benar datang dari lubuk hati yang paling dalam atau sekadar di bibir saja? Kitapun bisa meyakinkan diri, bahwa  ketidaktulusan bila diteruskan tidak akan berbuah manis. Bayangkan bila kita menjadi seorang pemimpin, bisakah kita membangkitkan trust bila tidak tulus? Trust bila menjadi pelumas hubungan dan transaksi bisnis, sementara ketidaktulusan mau tidak mau akan menjadi penghambat.  Tanpa ketulusan, kebersamaan pun akan kering, tidak bernyawa.

Tetap tulus di tengah politik dan kemunafikan
Beberapa teman yang tergabung dalam organisasi besar yang penuh dengan office politics, seperti menusuk dari belakang dan saling sikut-menyikut, tetap bisa berjalan maju dengan tenang dan tidak mengesankan terimbas oleh adanya pengaruh basa-basi, cari muka, dan ketidaktulusan. Ketika saya tanyai salah seorang teman, apa rahasianya, ia tenang-tenang menjawab, “Saya banyak melakukan komunikasi tertulis, di hampir semua komunikasi, formal dan tidak formal”.

Dengan semua komunikasi tercatat begini, hampir tidak mungkin orang mengingkari apa yang pernah ia katakan. Selain itu, dengan menulis, kita bisa bermain kata-kata, mencari  ekspresi yang tepat, dan sekaligus bisa justru membudayakan transparansi, karena pembicaraan atau hasil pembicaraannya bisa kita share dengan pihak yang perlu mengetahui dan terkait dengan urusan yang sedang dikerjakan. Kitapun dalam pemecahan masalah bisa menyebut kembali sasaran utama perusahaan sehingga dengan sendirinya motif pribadi akan tersingkir dan didominasi dengan motif untuk men-support sasaran dan nilai nilai perusahaan.

”Menulis membuat kita lebih aware,“ ungkapnya. Bila terasa masih ada agenda-agenda pribadi, kita tidak perlu segan-segan memberantasnya. Kepentingan lembaga yang sebetulnya adalah kepentingan umum, pasti tidak bisa kalah oleh kepentingan pribadi. Rasanya tetap lebih baik membuang kemunafikan dari perbendaharaan ekspresi kita, karena metode itu perlahan-lahan akan membunuh pribadi kita sendiri.

(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com