OLEH
Puasa Ramadhan merupakan kewajiban—ibadah
Dimensi budaya dari puasa ini bisa dikatakan relatif baru karena sedikit sekali disinggung oleh ceramah, karya tulis, dan buku-buku yang berkait dengan puasa Ramadhan. Dengan dimensi ini, setiap Muslim sebenarnya dituntut tidak hanya memperbaiki dan meningkatkan ketakwaannya dalam ruang domestik (
Dimensi keimanan dapat termanifestasi melalui peningkatan spiritualitas, sedangkan nilai-nilai kebudayaan mesti menampak di ranah moralitas. Melalui refleksi demikian, setiap Muslim diharapkan mampu memetik hikmah puasa Ramadhan sebagai wahana pencerahan diri secara intelektual ataupun spiritual. Bukan hanya dalam hubungan sesama Muslim, melainkan juga dengan umat beragama lain. Dengan itu, ibadah seperti puasa ini akan juga meninggalkan jejak religius dalam hidup keseharian kita secara seutuhnya.
Jihad akbar yang menjadi upaya utama manusia, terutama pada bulan puasa, sesungguhnya juga sebuah ”jihad” untuk meraih kearifan, kebijaksanaan, dan keutamaan dalam menjalani kehidupan bersama di muka bumi yang pongah ini. Sebuah ”jihad sosial” yang dapat pula dijadikan ”stasiun pemberangkatan” bagi setiap Muslim untuk mendefinisikan ulang kredo-kredo teologikal yang selama ini kurang berfungsi dalam ranah sosial. Puasa semestinya memberikan peluang terjadinya metamorfosis spiritual yang berdampak terhadap hidup yang lebih dinamis dan progresif; yang mampu meraih esensi dan mengolah fungsi kulturalnya sesuai dengan kebutuhan zaman.
Maka, lewat niat dan praksis puasa semacam itu, Ramadhan semestinya jauh dari kecenderungan yang selebratif. Di mana agama hanya dijadikan sarana bagi orang-orang ternama untuk menampakkan kemuliaan diri mereka melalui layar televisi dan media massa lain. Ibadah terpuruk hanya menjadi pelayan bagi nafsu dan kepentingan pribadi atau kelompok, bahkan sekadar kepentingan industrial. Di titik akhir ini, puasa Ramadhan sungguh akan terjebak dalam semacam perbudakan kultur konsumtif yang cenderung hedonistis. Satu kultur yang justru ditentang habis oleh puasa itu sendiri.
Bagaimana semua itu kemudian berkait dengan persoalan dan eksistensi kaum perempuan? Secara formal, jawaban sebenarnya jelas karena dalam syariat Islam, tidak ada perbedaan apa pun bagi laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan puasa. Akan tetapi, secara kultural, pertanyaan di atas dapat menjadi renungan. Sebab, dalam kenyataannya, pada bulan suci yang dimuliakan itu, kaum perempuan selalu mendapat halangan dalam menjalankan ibadahnya. Daur menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui merupakan fakta biologis yang menyebabkan perempuan tidak sepenuhnya dapat melaksanakan puasa sepanjang bulan.
Oleh karena itu, jika tak memahami maksud dan tujuan syariat Islam serta fikih-fikih yang berkenaan dengan perempuan pada bulan puasa, bisa jadi akan timbul dugaan bahwa Islam kurang ramah terhadap spiritualitas perempuan. Namun, sebaliknya, jika halangan-halangan puasa tersebut direnungkan secara lebih mendalam, sungguh, bulan Ramadhan merupakan anugerah bagi kaum hawa untuk meraih kearifan dan kebijaksanaan Ilahiah. Suatu kenyataan spiritual yang secara spesifik tak mungkin dialami oleh kaum laki-laki.