Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Geliat Kreasi Baru Tenun Bali

Kompas.com - 19/04/2011, 09:12 WIB

KOMPAS.com - Kain tenun bukan hanya buah keterampilan turun-temurun bagi masyarakat Bali, melainkan juga bentuk identitas kultural dan artefak ritual. Di luar lingkup tradisi masyarakat daerah tujuan wisata itu, kain tenun Bali pun tidak sebatas cendera mata, tetapi terus berkembang sebagai komoditas berbasis budaya.

Desa Sidemen di Kabupaten Karangasem dikenal sebagai salah satu sentra produksi kain tenun di Bali. Menenun kain menjadi aktivitas sehari-hari di hampir semua rumah di desa khas Bali ini.

Kehijauan alami mendominasi pemandangan di Sidemen. Keindahan sawah berundak membuat pelancong tidak terganggu dengan kecuraman tebing yang membatasi jalan-jalan sempit menuju Sidemen, sekitar dua jam perjalanan dari Denpasar.

Di Sidemen, Swastika merupakan salah satu toko dan usaha tenun yang menonjol. Usaha ini dimiliki oleh I Gusti Ayu Oka (50). Tempat usaha ini berupa bangunan tiga lantai yang kokoh, dengan suguhan pemandangan alam memukau yang leluasa dinikmati dari balkon lantai atas.

”Semua orang di desa ini bisa menenun, belajar dari orang tua kami dulu,” ujar Oka. Namun, pada masa lalu sejumlah warga hanya menenun untuk keperluan keluarga sendiri berupacara. Sebagian lagi menenun untuk memenuhi permintaan warga Bali di bagian lain pulau indah ini, juga untuk keperluan upacara.

Dalam penggolongan paling sederhana, terdapat dua jenis kain tenun di Bali. Kain tenun ikat, biasa disebut endek, dipakai sehari-hari. Sementara kain tenun songket digunakan untuk beragam upacara penting dalam siklus kehidupan masyarakat Bali, antara lain upacara potong gigi, perkawinan, hari raya, dan kremasi.

Di Swastika, endek bisa dibeli dengan harga dari Rp 200.000 hingga Rp 1 juta per lembar. Sementara songket produksi Oka dijual dari Rp 1 juta hingga Rp 15 juta per lembar. Waktu pengerjaan setiap helai kain ini juga bervariasi, dari beberapa pekan hingga empat bulanan.

Oka mengatakan, meski sejak kanak-kanak akrab dengan tenunan, ia baru mulai menggeluti usaha ini sejak 1990. ”Sebelumnya saya jualan makanan jajan. Saya usung di atas kepala keliling desa setiap hari,” ujarnya.

Oka mulai dengan mengerjakan sendiri seluruh proses membuat kain tenun. Kini ia mengupah sekitar 50 perajin di desanya. Sebagian besar pembuatan kain tenun itu dikerjakan di masing-masing rumah perajin.

Di rumah para perajin ini, anggota keluarga yang lain juga dapat membantu. Putu Wijaya (11), siswa kelas V SD di Sidemen, misalnya, sudah menguasai teknik ikat. Teknik ini adalah bagian penting dari produksi kain tenun Bali.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com