Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Terbius" Nikmat Kopi Kedai Lokal

Kompas.com - 23/09/2011, 19:01 WIB

KOMPAS.com - Wanginya aroma kopi segera mengundang selera begitu masuk ke kedai Kopi Kamu di Senayan Residence, Jakarta Selatan. Lokasinya berada di sudut Senayan City, terpisah dari kompleks pusat perbelanjaan. Cukup nyaman, tenang, dan membikin betah siapa pun yang gemar menikmati kopi sembari sekadar kongko. Pemandangan serba kopi menyergap mata, mulai dari rak-rak di belakang bar yang berisi deretan toples berisi biji-biji kopi dari berbagai daerah di Indonesia.

Di Kopi Kamu, kopi baru digiling ketika dipesan. Biji-biji kopi itu pun biji kopi yang telah disangrai dan tidak disimpan berlama-lama. Dengan demikian, aroma dan cita rasa kopi lebih optimal. Kedai kopi yang didirikan Rudy J Pesik pada Juni 2010 ini kian mewarnai bergairahnya pertumbuhan kedai-kedai kopi lokal di ranah specialty coffee di Indonesia, khususnya Jakarta. Di kedai kopi lokal yang ”serius” semacam ini, pasar penikmat kopi sejati terisap. Ya, kedai-kedai lokal ini turut mengisap pasar dari kedai-kedai kopi yang sudah ada.

Santi Rivai (37) misalnya. Penikmat kopi yang pernah 11 tahun bermukim di Boston, Amerika Serikat, ini sejak 2007 menjadi pengunjung rutin kedai kopi. Selama di Boston, kegemarannya mengopi terpelihara. Di sana, beberapa kali dia menemui kopi yang mengusung label nama daerah asal Indonesia, seperti Sumatera atau Toraja. Pulang ke Indonesia, desainer grafis ini menemukan oase kopi spesial justru di kedai kopi lokal.

Selain atmosfer personal dari kedai kopi lokal, cita rasa kopi dari kedai-kedai lokal memang istimewa. Salah satunya karena kedai lokal menyangrai sendiri biji-biji kopi mentah. Penyangraian itu berkontribusi menentukan kenikmatan seduhan kopi. Kopi yang terseduh berasal dari kopi segar yang baru disangrai.

Irvan Helmi (29), salah satu pendiri sekaligus roast master dari Anomali mengatakan, kopi yang telah disangrai itu disimpan selama maksimal hanya satu bulan. Pentingnya proses penyangraian membuat kedai kopi memiliki roast master yang dididik sendiri. Pengunjung bisa menyaksikan langsung penyangraian itu. Mesin penyangrai berukuran besar ditempatkan di muka kafe, sekaligus menjadi ornamen eksotis bagi penikmat kopi. Harum semerbak kopi yang tengah disangrai menjadi bonus tak ternilai.

Sikap total serupa juga dilakukan oleh kedai kopi lokal bernama Macehat di Medan, Sumatera Utara. Kedai kopi yang mengusung kopi lokal arabika khusus asal Sumatera ini bahkan mengolah sendiri buah kopi yang baru dipanen. Buah kopi itu kemudian dipilih yang benar-benar berwarna merah. Kopi lalu ditangani melalui tahap pengolahan yang panjang, mulai dari pengupasan, fermentasi, pencucian, pengeringan, pendinginan (tampering), pengupasan kulit tanduk, pengeringan akhir, hingga penyangraian.

Pendirinya, Verayani Jioe, meyakini cara demikian mampu meraih dan menjaga kualitas biji kopi yang premium. Dari proses ini, Macehat juga mendapatkan biji-biji kopi jantan (peaberry) yang merupakan biji kopi tunggal dalam satu buah kopi.

Meski begitu, Verayani beranggapan, di Medan sendiri, penikmat kopi premium masih sedikit. Namun, dia tak berkecil hati. Meski kecil dan menyempil, kedai kopi Macehat yang berada di Jalan Karo, Medan, ini perlahan tapi pasti dikenali para pencinta kopi. Macehat bahkan melayani pemesanan biji lokal dari luar Medan meski hanya membeli satu kantung, tentunya berikut ongkos kirim. Pemesanan bisa dilakukan melalui situs atau telepon.

”No espresso”
Semangat kelokalan juga menapasi Waddaddah, kedai kopi di Bandung, Jawa Barat, yang fokus mengusung kopi asal Bulukumba, Sulawesi Selatan. Yaya, yang asal Bulukumba, mendirikan Waddaddah karena kepincut berat dengan cita rasa kopi di kampungnya. Itu pun baru disadari Yaya ketika ia pulang kampung dan tinggal sementara di sana selama tiga tahun.

Masa lima tahun terakhir menurut dia, terjadi demam pertumbuhan warung kopi di Bulukumba sejak Facebook digandrungi. Pasalnya, warung kopi penyedia wifi gratis menjadi salah satu faktor penarik pengunjung. Demam ngopi di kedai yang muncul belakangan ini di sana sebenarnya sedikit aneh. Sebab, perkebunan kopi telah eksis sejak zaman Belanda di Sulawesi. Namun kultur minum kopi di Bulukumba, terlebih di kedai kopi, menurut Yaya, belum lama terbangun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com