Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/07/2012, 10:06 WIB

KOMPAS.com - Sinta Lie mengangkat dagu, menampakkan lehernya yang jenjang. Bibirnya yang dipulas warna ”nude” itu lalu direkahkan sedikit. Dalam sekejap lirikan matanya, rana kamera langsung menyambar, mengabadikan kemolekan sore itu....

Sinta tampak akrab dengan lensa kamera. Sambaran rana kamera bertubi-tubi seperti membuatnya bergairah. Mantan model, ya, Mbak? ”Ah, enggak.... Keluargaku melarang keras aku jadi model sejak dulu,” jawabnya lembut.

Kendati bukan model profesional, nyatanya kehidupan Sinta kini bak model di dunia nyata. Tanpa harus nampang di berbagai majalah mode, penampilan Sinta menggoda para perempuan lain untuk senantiasa menirunya.

Bagaimana tidak, sore itu kebaya china peranakan berbahan rubia memeluk tubuhnya yang ramping. Tubuh itu seolah memang terpahat untuk kebaya. Berpadu dengan rok mini ketat berbahan jersey, Sinta membiaskan kesan perempuan kosmopolitan dengan romantisme tradisi yang kental. Tak heran, apa pun kebaya yang dikenakan Sinta di berbagai acara membuat banyak perempuan tergoda untuk memburu kebaya serupa. Memburu di mana? Tentunya di House of Kebaya.

House of Kebaya adalah rumah butik yang didirikan Sinta sejak setahun lalu. Sinta memang mengkhususkan diri mengeksplorasi aneka kebaya peranakan. Spesialisasinya itu tak terlepas dari rekam jejak tradisi yang terawat baik di keluarganya.

Sinta memang terlahir dalam tradisi peranakan. Meski wajahnya sekilas tak menampakkan guratan oriental yang kental, dari garis ibu dan ayah, Sinta mewarisi darah China. ”Aku ini campur-campur. Selain China, dari Ibu ada darah Sunda, Betawi, dan Belanda. Dari Ayah darah China,” tuturnya.

Pluralisme memang melahirkan keindahan. Sosok Sinta mengingatkan penggambaran perempuan molek ala pujangga tempo doeloe. Rambut bak mayang terurai, dagu bak lebah bergantung, pipi bak pauh dilayang, dan bibir bagai delima merekah....

Setiap berbicara, kelopak matanya yang berbentuk seperti kacang almond itu sesekali mengerjap perlahan. Cara berbicaranya cenderung pelan dan datar. Namun, ketika berbicara soal kebaya, gairahnya terasa.

”Bayangin deh, yang mendesain kebaya ini orangnya sudah berumur 70 tahun! Beliau langganan ibuku sejak lama sekali. Selembar kebaya yang handmade 100 persen bikinnya bisa sampai tiga bulan. Dibordir dan disulam dengan tangan,” tutur Sinta bersemangat.

Menurut Sinta, aura otentik kebaya peranakan hanya bisa moncer jika memang dikerjakan oleh orang peranakan. ”Kami beberapa kali mencoba mengajarkan berbagai orang bukan China peranakan, hasil akhirnya tetap berbeda. Sulit memang,” cerita Sinta.

Bermain kontras

Mengelola rumah butik, bukan hal baru bagi Sinta. Satu dekade sebelumnya Sinta sempat mengelola butik dengan barang-barang mode asal Eropa. Namun, setelah menikah, sang suami, Joseph, keberatan jika Sinta harus terus-menerus bolak-balik Paris untuk menjalankan bisnis butiknya di Jakarta. Dunia mode memang hasrat Sinta sejak lama. Jalan cerita hidupnya akhirnya berlabuh pada mode tradisi, yakni kebaya peranakan.

Sore itu Sinta membawa tiga lembar kebaya peranakan berwarna krem, hitam, oranye, dan merah jambu. Kebaya kaya warna memang salah satu ciri menonjol dari kebaya peranakan. Kebaya berbahan rubia terasa lebih halus dan sedikit berkilau. Menurut Sinta, kebaya buatan tangan berbahan rubia merupakan produk premium dari rumah butiknya. ”Banyak motif dan warna. Salah satu motif yang populer adalah gold fish. Dalam selembar kebaya peranakan biasanya mengandung cerita dan makna tersendiri,” tutur Sinta.

Sinta mengingatkan, kebaya peranakan sebaiknya dipadu-padankan dengan bawahan berwarna kontras, bukan warna senada. Bermain kontras menjadi kuncinya. ”Carilah warna yang sedikit pada sulaman di kebaya, lalu pakai bawahan dengan warna tersebut. Jangan pakai bawahan dengan warna yang sudah dominan di kebaya atau sulamannya. Dengan cara seperti itu aura kebaya peranakan lebih keluar,” kata Sinta.

Tips kebaya ala Sinta itu seperti mengingatkan betapa keindahan dan harmoni kian berbinar dengan memadupadankan unsur mayoritas dan minoritas, mengendalikan dominasi. Bagaimana Sinta mempelajari seluk-beluk kebaya peranakan itu? Sinta mengamatinya di lingkungan keluarga sendiri, khususnya dari sang nenek. ”Nenek hingga meninggal selalu rapi berkebaya. Segala aksesorinya, seperti peniti emas, masih kami simpan rapi,” kata Sinta.

Penggemar lukisan karya maestro Hendra Gunawan dan Affandi ini tampak begitu terikat dengan keluarga besarnya. Tradisi peranakan yang terpelihara di keluarga diikutinya dengan patuh. Apalagi, jika menyangkut soal kecantikan, Sinta dengan rela mengikutinya. Berbagai pantangan dan anjuran diikutinya baik-baik. Salah satu contohnya soal perawatan diri usai melahirkan.

Bayangkan saja, Sinta rela tak mandi dan tak keramas selama 40 hari pasca-melahirkan. Menurut neneknya, perempuan pantang mandi dan keramas usai melahirkan. Sinta hanya boleh mengelap tubuhnya dengan lap basah hangat. Perutnya pun di pagi dan sore hari dibebat stagen hingga benar-benar kaku. Belum lagi aneka jamu dan tim ayam arak yang harus dikonsumsi selama 40 hari.

Ah, tak mandi pun sepertinya tak memengaruhi kemolekanmu, kok....

(Sarie Febriane/Nur Hidayati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com