Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 29/01/2013, 09:04 WIB

KOMPAS.com - Belum lama ini ada jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga internasional mengenai persepsi kebahagiaan dari rakyat suatu negara. Hasilnya, negara-negara yang selama ini dianggap sebagai negara maju dan makmur ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan rakyatnya. Malah negara-negara yang berada di Amerika Latin dan Karibia, seperti Panama, Paraguay, El Salvador, Venezuela, berada di peringkat atas sebagai negara yang rakyatnya bahagia.

Indonesia berada di peringkat ke-19 dari 148 negara yang disurvei. Sementara negara-negara maju, seperti Jerman dan Perancis, berada di peringkat ke-47. Adapun dua negara Asia, seperti Thailand dan Filipina, berada di peringkat ke-6 dan ke-9. Yang unik adalah Singapura, malah ada di peringkat ke-148, sejajar dengan negara-negara seperti Irak, Serbia, dan Armenia.

Apa makna hasil survei persepsi tentang kebahagiaan itu? Negara kaya belum tentu menciptakan rasa bahagia bagi rakyatnya. Memang, ada pihak yang mengkritik survei itu dengan mengatakan bahwa aspek budaya tidak bisa dicampuradukkan dengan perekonomian.

Namun, apa pun kritik itu, yang jelas, masyarakat memiliki persepsi bahwa kekayaan finansial tidak selalu bermuara pada rasa bahagia. Hal itu juga terlihat dari persepsi responden di Indonesia, di mana rakyat Indonesia yang disurvei memperlihatkan ada rasa bahagia meski di Indonesia saat ini masih cukup banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan.

Jembatan
Semua orang berharap dapat mencukupi kebutuhan finansialnya. Namun, dalam realitasnya, tak sedikit yang menjadikan kemapanan finansial sebagai tujuan akhir dari kehidupan. Padahal, kemapanan finansial adalah jembatan untuk mencapai tujuan hidup, yakni kebahagiaan.

Kalangan modern menjadikan perjalanan hidupnya berbasis rencana. Termasuk dalam hal ini adalah rencana finansial, misalnya memiliki rumah yang bagus, memiliki tabungan besar, dan sebagainya. Untuk mencapai tujuan finansial itu, banyak cara dilakukan. Bisa dengan cara menabung, menyisihkan pendapatan untuk disimpan, dan juga melakukan investasi.

Namun, pertanyaannya, bagaimana Anda menjalani proses untuk mencapai tujuan keuangan tersebut? Apakah Anda menjalaninya dengan bahagia atau malah membuat Anda tertekan? Sejatinya, perjalanan mencapai tujuan finansial dibarengi juga dengan rasa senang dan rasa bahagia. Bukan sebaliknya. Bagaimana caranya?

Pertama, ubah kembali mind set, bahwa tujuan kemapanan finansial bukanlah tujuan akhir, melainkan tujuan antara untuk mencapai mendapatkan kebahagiaan. Ini berarti ukuran kebahagiaan mesti di-review ulang. Jika selama ini Anda merasa bahagia ketika bisa membeli rumah besar, mungkin prinsip seperti itu mesti dikaji kembali. Sebab, dari sisi logika, rumah yang tersebar di mana-mana toh tidak bisa dinikmati. Hanya bisa Anda catat dan lihat dalam pembukuan aset bahwa Anda memiliki beberapa rumah.

Konkretnya, jika mengacu pada survei yang dilakukan sebagaimana dipaparkan di atas, sebagian persepsi masyarakat tentang kebahagiaan bukanlah pada seberapa besar aset yang dimiliki, melainkan seberapa besar rasa bahagia memiliki aset tersebut. Itu berarti aset dimaksud bisa dinikmati, bukan sekadar dimiliki.

Kedua, menjadikan proses mencapai tujuan keuangan sebagai hal yang menyenangkan. Pernahkah direnungkan, apakah ketika Anda bekerja mencari uang sebagai pendapatan, Anda merasa bahagia atau tertekan? Atau selalu merasa kurang terus berapa pun besarnya penghasilan yang diraih?

Jujur saja, banyak orang yang terjebak dalam ”kesulitan finansial” lebih karena pikiran dan perasaan. Bukan karena faktanya. Sekali lagi, untuk mendapatkan situasi senang ketika menjalani proses mencapai tujuan keuangan, sebenarnya yang paling mendasar adalah mengubah paradigma, bahwa apa pun yang dilakukan untuk meraih tujuan finansial mesti dilakukan dengan senang. Jadi, kuncinya ada pada pemikiran kita masing-masing.

Stres
Ketiga, memilih kegiatan finansial, khususnya investasi yang berbasis pada karakteristik pribadi. Banyak contoh orang stres karena urusan utang ataupun tertekan karena gagal berinvestasi. Kenapa demikian? Karena melakukan proses keuangan dan investasi dengan cara keliru. Anda seorang yang karakteristiknya risk avoider. Tipikal khawatir secara terus-menerus. Atau ada juga yang malah masuk golongan paranoid. Namun, ingin berinvestasi di pasar modal, khususnya saham.

Lebih jauh lagi, membeli saham pakai uang dapur. Lebih hebat lagi, saham yang dibeli tidak berdasarkan analisis, tetapi rumor dan malah membeli saham-saham gorengan. Ketika saham yang dibeli harganya meningkat, girang luar biasa. Lalu menambah uang lagi untuk membeli saham tersebut. Yang terjadi kemudian saham itu harganya anjlok. Kerugian besar di depan mata. Ini termasuk contoh kegagalan mencapai rasa bahagia dalam proses investasi. Oleh karena itu, lakukanlah kegiatan keuangan dan investasi yang sesuai dengan personality.

Simpulannya, kebahagiaan finansial adalah bagaimana kita memperoleh kemapanan finansial dibarengi dengan rasa bahagia. Aset yang akan diperoleh bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai alat untuk mencapai rasa bahagia. Jadi, jangan sekadar menjadikan besarnya aset sebagai ukuran, tetapi proses memperoleh aset tersebut, serta bisa menikmati aset yang dimiliki. Itulah makna kebahagiaan finansial.

(Elvyn G. Masassya, praktisi keuangan)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com