Hal itu tercermin dalam sebuah survei di Inggris. Disebutkan, dua pertiga anak yang menjadi responden mengatakan cemas dengan penampilan mereka. Sebanyak 18 persen mengaku pernah menangis karena mereka menganggap dirinya jelek.
Ini tentu mengejutkan karena sepertiga anak-anak berusia kurang dari 5 tahun sudah menyadari apakah mereka menarik atau biasa-biasa saja. Sementara itu di usia sekitar 8 tahun banyak anak yang sudah peduli pada penampilannya.
Data tersebut memang didapat di Inggris, tetapi secara global sebenarnya tak jauh berbeda. Di Jakarta misalnya, beberapa orangtua yang anaknya masih duduk di bangku TK mengatakan anak mereka merasa kurang pede karena tubuhnya gemuk, berambut keriting, atau berkulit lebih hitam.
Hasil studi di Inggris itu juga menyebutkan, pada umumnya anak perempuan lebih merasa tidak bahagia dengan penampilannya dibanding anak laki-laki. Separuh dari responden mengaku kurang pede dan seperempat responden pernah menangis karena ingin memiliki fisik lebih menarik.
Dua dari lima orangtua yang ditanya juga mengatakan anak mereka pernah membandingkan penampilannya dengan anak lain.
Sikap tersebut mungkin saja berasal dari para orangtua sendiri. Tanpa sadar, mungkin kita kerap membandingkan anak kita dengan anak lain. Sebanyak 80 persen ibu yang disurvei mengakui hal tersebut.
Untuk meningkatkan kepercayaan diri anak, 69 persen ibu sering mengatakan pada anak mereka bahwa apa yang terpenting adalah "yang ada di dalam". Meski begitu 50 persen orangtua tetap berpendapat bahwa penampilan adalah hal yang penting dan berharap anak mereka memperhatikannya.
Menjadi cantik atau tampan adalah sebuah anugerah, tetapi ada yang tidak benar jika anak-anak mulai merasa bahwa kondisi fisik itu jauh lebih penting ketimbang sifat dan kepribadian. Kesuksesan dan kepercayaan diri bisa diperoleh dari banyak bentuk, bukan hanya yang tampak pada permukaan.