Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kursi Khusus untuk Hermes Bag

Kompas.com - 31/01/2010, 10:34 WIB

KOMPAS.com - Bagi yang kurang akrab dengan jagat konsumsi, barangkali akan menganggap ini mengada-ada bahwa di sebuah hotel mewah di Jakarta disediakan tempat duduk khusus bagi tas. Kalau ada wanita menenteng tas mewah Hermes yang disukai ibu-ibu kaya masuk restoran hotel tersebut, pelayan akan buru-buru menyediakan tempat duduk khusus bagi tas Anda. Bahkan dengan takzim pelayan akan menyelimuti sang tas agar kalau para ibu ini saking serunya ngobrol makanan muncrat ke mana-mana, tas tidak terciprat saus atau apa pun.

Bukan kebetulan Hermes kami angkat sebagai contoh sebab sampai sekarang merek itu dengan edisi, misalnya, Birkin, tetaplah favorit para wanita yang bersedia dan mampu membeli tas seharga di atas Rp 100 juta. Dia menjadi semacam ikon barang mewah serupa Chanel untuk adi busana, ataupun Rolls-Royce untuk dunia otomotif.

Sorotan satiris terhadapnya tak kalah seru. Ketika ahli kuliner dan etiket Amerika yang sangat terkenal, Martha Stewart, terserimpet skandal kecurangan perdagangan orang dalam (insider trading), dan dia memasuki ruang sidang dengan menenteng tas Birkin, ada yang berkomentar bahwa itu kurang etis. ”Sebuah tas yang diselimuti oleh mega tebal kemakmuran dan hak khusus tidak disarankan (dibawa ke ruang pengadilan),” begitu kurang lebih tulis seorang kolumnis Washington Post. Bandingkan dengan Artalyta Suryani dulu, yang juga menenteng Hermes-nya di pengadilan. Adakah orang peduli? Di sini belum banyak orang menaruh perhatian pada segi-segi etis dunia konsumsi.

Studi-studi mengenai konsumsi oleh mereka yang berminat pada studi-studi kebudayaan sudah banyak yang menengarai, bagaimana kaitan barang konsumsi dengan identitas. Dalam globalisasi merek-merek terkenal, barang bermerek adalah sarana untuk menunjukkan diri di kelas mana seseorang berada. Di situ fashion menunjukkan ambivalensi: orang ingin menunjukkan otentisitas diri (lewat barang bermerek tertentu), pada saat sama mereka terseragamkan oleh barang yang dalam kapitalisme global diproduksi secara massal. Ada yang menyebut itu semacam proses pencarian otentisitas dalam keseragaman, atau dalam kata-kata filosof terkenal Georg Simmel, itu adalah proses ”pembedaan” (differentiating) sekaligus ”pengelompokan” (socialising). Dalam konteks ini, berbahagialah para wanita yang percaya bahwa tangannya sangat bagus dan menawan tanpa perlu digelantungi tas Birkin.

Kebetulan hotel yang kami maksud di sini juga terkenal di kalangan politisi. Kalau Anda masuk ke lounge hotel itu, dengan gampang Anda akan mendapati para bapak dengan busana model safari, berikut kacamata berbingkai emas dari Cartier. Kadang jari dilengkapi cincin bermata berlian sambil merokok di non smoking area. Model demikian siapa lagi kalau bukan pejabat.

Saya bayangkan seorang lelaki dengan ciri-ciri seperti itu bertemu wanita yang menenteng tas mewah, duduk di restoran hotel, dengan sang tas ikut ”duduk” di tempat duduk khususnya. Lalu si wanita keluar ruang sebentar untuk ke toilet. Tinggallah si lelaki duduk berhadap-hadapan dengan tas yang duduk manis di tempatnya tadi.

Berkomunikasi dengan tas -sebagaimana berkomunikasi dengan ikon konsumsi lain taruhlah mobil mewah yang diberhalakan sebagian lelaki- tidak diperlukan etiket sebagaimana berkomunikasi antarmanusia. Jangankan kesantunan, mau ngedan pun boleh. Itulah yang kita lihat sehari-hari sekarang. Bah....

(Bre Redana/Kompas Cetak)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com