Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi: Edukasi Seksual Ketinggalan Zaman, Seksis, dan Negatif

Kompas.com - 14/09/2016, 14:08 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

Sumber time.com

KOMPAS.com -- Edukasi seksual di sekolah adalah sesuatu yang sulit dilupakan oleh banyak orang. Terutama dalam budaya Indonesia yang menstigmasi seksualitas seseorang, pelajaran tersebut adalah pertama kalinya dua generasi bertemu dan berbicara mengenai seks.

Namun, ternyata edukasi seksual dinilai ketinggalan zaman, seksis dan negatif, setidaknya menurut siswa di sepuluh negara.

Sebuah studi yang baru saja dipublikasikan dalam BMJ Open mengungkapkan pendapat siswa usia 12 hingga 18 tahun mengenai edukasi seksual di Amerika Serikat, Inggris, Irlandia, Australia, Selandia Baru, Swedia, Kanada, Jepang, Iran, dan Brazil antara 1990 hingga 2015.

Walaupun mereka memiliki budaya dan kurikulum yang berbeda-beda, ternyata pendapat siswa cukup konsisten, yaitu edukasi seksual sama sekali tidak menyenangkan.

“Semua yang kita dapat di kelas terasa klinis,” ujar seorang siswa. Sementara itu, siswa lainnya mengatakan, mereka tidak mengatakan apa-apa tentang hubungan seksual sesama jender.

Bahkan, satu grup responden teringat akan guru mereka, Plum, yang tidak nyaman dengan subyek tersebut sampai menangis di kelas.

Dengan berbagai alasan yang disebutkan responden, para peneliti berhasil mengidentifikasikan dua faktor terbesar yang membuat edukasi seksual dinilai tidak menarik oleh siswa.

Pertama, sekolah tidak mengakui bahwa seks adalah subyek spesial yang membutuhkan keahlian tertentu untuk dijelaskan secara efektif.

“Mereka tidak memperhitungkan bahwa seks berpotensi menjadi topik yang memalukan atau mencemaskan,” tutur Pandora Pound, penulis studi tersebut dan peneliti dari University of Bristol, kepada Time melalui pesan elektroniknya.

Dia melanjutkan, hasilnya malah menjadi canggung, menyakitkan, dan tidak memuaskan bagi semua pihak yang terlibat.

Masalah kedua adalah sekolah yang tidak mengakui bahwa siswanya adalah mahluk yang aktif secara seksual. Akibatnya, informasi yang diberikan terasa tidak sesuai dengan kenyataan, tidak relevan, dan terbatas pada hubungan heteroseksual.

Menurut para peneliti, pelajaran edukasi seksual tidak mengajarkan mengenai layanan kesehatan masyarakat, apa yang harus dilakukan oleh siswa bila terjadi kehamilan di luar nikah, serta kekurangan dan kelebihan masing-masing kontrasepsi.

Kebanyakan guru juga seringkali memberikan informasi secara ilmiah tanpa memedulikan kepuasan dan keinginan pelaku seksual, terutama wanita.

Akan tetapi, masalah terbesar dari edukasi seksual adalah pembicara yang seringkali juga guru para siswa.

Untuk memperbaiki hal ini, Pound mengusulkan untuk memberikan tugas ini pada pakar.

“Hal ini harus diberikan pada pakar yang beranggapan positif mengenai seks, yang menikmati pekerjaan mereka dan berada di posisi dengan batasan yang jelas dari siswa. Kita harus membuat penyampainnya benar atau anak muda tidak akan peduli,” ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber time.com
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com