Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/10/2016, 15:30 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

KOMPAS.com -- Batik dikenal sebagai seni dan kerajinan yang menggunakan cat dan malam untuk menghias sebuah kain.

Bila demikian, masih bisakah motif batik yang tidak digambar menggunakan teknik yang sama disebut sebagai batik?

Kompas.com mempertanyakan hal ini kepada tiga perancang busana, Ghea Panggabean dan Ivan Gunawan yang mencetak beberapa motif kainnya secara digital, serta Nonita Respati yang menggunakan kuas untuk menghias koleksi terbaru Purana.

Ghea yang ditemui di Ghea Fashion Studio, Jakarta, Jumat (9/9/2016) mengakui bahwa dia memang tidak mau semuanya dibuat menggunakan tangan karena selain pembuatannya sulit, motif busana ready to wear yang ada di luar negeri memang selalu dicetak secara digital.

Namun, tidak semua motif busana dicetak secara digital olehnya. Bila motif tersebut masih dibuat menggunakan tangan, maka dia tidak akan mencetaknya.

“Kita harus pandai-pandai. Saya juga tidak mau membuat batik print sembarangan, makanya untuk acara di Kelantan saya pakai batik asli semua,” ujarnya merujuk pada pergelaran busana dengan motif batik Parang yang pada saat itu sedang dipersiapkannya.

Dia melanjutkan, tetapi kalau jumputan yang sudah kuno dengan efek pudar dan berlubang kan tidak bisa dibuat baru. Sebab, kalau dibuat baru pasti warnanya terlalu terang.

Perancang busana yang juga menjabat sebagai pengurus Yayasan Batik Indonesia ini kemudian menekankan, kalau bisa kita kurangi ya kurangi lah, kecuali kalau kita modernisasikan sebagai unsur ide.

Kemudian, Ivan yang ditemui di acara konferensi pers Los Angeles Fashion Week SS2017 dan Explore Indonesia 2016 yang diadakan di Lucy in the Sky, Jakarta, Selasa (20/9/2016) juga mengungkapkan alasannya dalam menggunakan teknologi cetak digital.

Perancang yang baru saja mengadakan pergelaran busana di Los Angeles, Amerika Serikat, hari ini (2/10/2016) ini berkata bahwa karena kita hidup di era yang modern, maka perancang pada tahun 2016 harus memberikan inovasi kepada batik.

“Kalau kita hanya mengambil motif Megamendung di kain, maka tidak akan ada sensasinya. Namun, bagaimana caranya kita yang muda membuat sesuatu yang baru agar generasi muda juga mau memakai batik,” ucapnya mengenai Purana.

Lalu, di samping membuat inovasi, Ivan juga menyebut pertimbangan harga sebagai alasannya memilih untuk mencetak batik.

“Jajaka saya (merek pakaian Ivan), kisaran harganya antara Rp 600.000 sampai Rp 1,5 juta. Apakah bisa pakai batik tulis? Selembar batik tulis saja sudah Rp 2 juta sampai Rp 3 juta,” ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com