Ketua Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI), Taruna K Kusmayadi, mengatakan desainer dalam merancang busana sebaiknya menghindari kecenderungan pengulangan desain. Selain menciptakan kreasi baru sesuai karakternya, desainer busana muslim juga perlu menghasilkan second label yang lebih mudah diserap pasar besar.
"Desainer sebagai pencetus bukan follower," katanya dalam kegiatan Ramadhan Runway di Kota Kasablanka, Jakarta.
Menurut Taruna, selain menciptakan kreasi baru sesuai karakternya, desainer busana muslim juga perlu menghasilkan second label yang lebih mudah diserap pasar besar.
"Pasar Tanah Abang menyerap desain baru yang dimodifikasi untuk mencapai nilai ekonomis. Desainer, kalau tidak mengerjakan second label, maka kreasinya akan diserap pasar besar. Karenanya, hitungan bisnis harus jadi mata pelajaran desainer APPMI," katanya.
Lebih dewasa
Busana muslim karya desainer yang menjadi trendsetter juga sebaiknya lebih matang. Busana muslim memang sedang booming tetapi tak semuanya bagus.
"Semua bergembira karena industri busana muslim membawa berkah ke banyak pihak. Namun banyak bentukan busana muslim yang aneh. Euforianya semua orang merasa dirinya desainer. Ada demokrasi berkarya tapi belum menunjukkan kematangan style," tutur Taruna.
Ia mengatakan, 5-10 tahun ke depan busana muslim perlu semakin wearable, tidak silau, dan enak dilihat.
"Kedewasaan busana muslim perlu terus ditingkatkan. Saya pernah lihat orang berkerudung payet di siang hari yang terik di luar ruangan," tuturnya.
Nah, dengan banyaknya pilihan busana muslim di pusat belanja, baik koleksi desainer atau bukan, mana yang lebih jadi pilihan Anda? Pilih busana muslim dari trendsetter atau follower?